Saturday, July 17, 2021

Tips Mendampingi Anak Dalam Pembelajaran Jarak Jauh

Pemerintah Indonesia kembali memberlakukan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) di pulau Jawa dan Bali, mulai tanggal 3 Juli hingga 20 Juli 2021. Tindakan pemerintah ini diambil karena angka penyebaran Covid-19 yang semakin tinggi di Indonesia, terutama sejak varian Delta menyebar dengan sangat cepat. Salah satu aturan PPKM adalah melangsungkan seluruh kegiatan belajar-mengajar secara daring. Padahal, sebelumnya Kementerian Pendidikan berencana untuk mengadakan pembelajaran tatap muka terbatas, mulai bulan Juli 2021. Hal ini dilakukan karena menteri pendidikan dan kebudayan, Nadiem Anwar Makarim menyatakan bahwa pembelajaran jarak jauh dinilai kurang efektif. 
Penerapan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), kembali menjadi polemik bagi orang tua dan anak. Mengacu pada peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 109/2013, pasal 2, PJJ berarti murid dan guru hanya mengandalkan penggunaan media komunikasi daring, dengan sistem belajar mandiri. Sedangkan, implementasi gaya belajar ini masih dipertanyakan efektifitasnya bagi anak-anak yang masih duduk di bangku taman kanak-kanak dan sekolah dasar.
Selama berpraktik di masa Pandemi Covid-19, penulis banyak menemui keresahan orang tua dalam mendampingi anak melakukan PJJ. Umumnya, orang tua bingung bagaimana cara yang tepat untuk mendampingi anak-anak mereka. Tidak jarang, orang tua pun merasa kesal saat melihat anaknya sulit untuk fokus atau enggan dalam mengikuti PJJ. Hal ini akan terus dirasakan oleh orang tua selama hari sekolah, serta menjadi salah satu stressor tersendiri bagi mereka selama pandemi.
 Lalu, bagaimanakah solusinya? Langkah apa yang perlu diambil oleh orang tua? Berikut beberapa tips dari penulis yang dapat dilakukan oleh orang tua dalam mendampingi anak melakukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ):
 
Pembuatan Jadwal Harian 
Jadwal membantu terciptanya regulasi yang terstruktur akan aktivitas harian, dan mendukung kesehatan mental selama masa pandemi (Hou, Lai, Ezra, & Goodwin, 2020). Sebab, jadwal harian itu sifatnya terprediksi, dapat dikendalikan, dan bersifat pasti. Sifat-sifat yang justru berlawanan dengan situasi pandemi yang tidak dapat diprediksi, tidak dapat dikendalikan, dan tidak pasti. Anak juga akan terbiasa dan memahami waktu-waktu kapan saja ia harus mengikuti PJJ. Dalam penerapan jadwal harian, libatkanlah anak untuk menyusun dan memilih aktivitas hariannya. Namun, ingatkan kepada anak bahwa ada beberapa aktivitas yang waktunya sudah pasti dan tidak dapat ditolerir, seperti waktu sekolah dan ibadah sholat.
 
Pemilihan Ruang Belajar 
Anak perlu memiliki ruang khusus untuk mengikuti PJJ, sebaiknya ruangan tersebut minim distraksi, seperti tidak adanya televisi, radio, ponsel, dan lain-lain. Pastikan juga di atas meja belajar hanya terdapat benda-benda yang relevan dengan kegiatan PJJ. Sebab, rentang atensi anak-anak masih terbatas dan belum dapat bertahan lama. Menurut Brain Balance Achievement Centers (2021), rentang atensi anak adalah usia anak dikali 2 sampai 3 untuk mengerjakan tugas dalam suatu waktu. Contohnya anak usia 5 tahun, berarti ia memiliki rentang atensi sekitar 10 sampai 15 menit. Selain itu, faktor-faktor eksternal seperti seberapa banyak distraksi yang ada di sekitar, juga dapat menjadi hal yang mempengaruhi rentang atensi seorang anak. Oleh karena itu, mengatur ruang belajar menjadi hal yang sangat penting.
 
Pemberian Contoh Kongkrit 
Berdasarkan aspek perkembangan kognitif Piaget, anak-anak usia 2 sampai 7 tahun masih berada dalam tahap pra-operasional (simbolis) dan anak usia 7 sampai 11 tahun masih berada dalam tahap operasional kongkrit (Santrock, 2008). Sehingga, saat orang tua membantu anak dengan memberikan contoh-contoh simbolis maupun kongkrit dalam kegiatan belajar daring, maka anak akan lebih mudah memahami materi yang disampaikan oleh guru secara lisan. Gunakanlah alat-alat yang sederhana dan yang sudah tersedia di rumah, seperti kertas, pensil, krayon, ilustrasi gambar, mainan anak, balok, dan lain sebagainya untuk membuat berbagai contoh simbolis dan kongkrit.
 
Reward Untuk Anak 
Orang tua dapat memberikan reward berupa apresiasi kepada anak melalui pujian, memberikan anak waktu bebas (free time), atau memberikan anak kesempatan untuk memilih kegiatan apa yang hendak dilakukan setelah ia menyelesaikan sekolah daringnya. Pemberian reward ini merupakan salah satu cara untuk menguatkan perilaku anak dalam mengikuti rutinitas PJJ. Sebab reward akan menghasilkan pengalaman yang menyenangkan dan positif (White, 2011).
 
Pandemi Covid-19 adalah masa yang sulit untuk semua orang, termasuk bagi orang tua yang mendampingi anak-anaknya dalam melakukan kegiatan belajar daring. Orang tua seperti memainkan peran baru yang belum pernah dilakukan sebelumnya, yaitu menjadi seorang guru. Melalui tips-tips yang telah dijabarkan di atas, penulis berharap dapat membantu orang tua dalam menjalani perannya tersebut. Jangan lupa, orang tua juga perlu menjaga serta merawat kesehatan fisik dan mentalnya sendiri. Misalnya dengan mengkonsumsi makanan sehat, berolahraga, meluangkan waktu untuk me time, dan melakukan hobi secara rutin. Sebab, orang tua yang bahagia dan sehat, adalah orang tua yang siap untuk mengasuh dan mendampingi anak-anaknya.
  
Ditulis Oleh: Jane Cindy Linardi, M.Psi, Psikolog.

Daftar Referensi 
Brain Balance Achievement Centers (2021). brainbalancecenters.com
Hou, W.K., Lai, F.T., Ezra, M., & Goodwin, R. (2020). Regularizing Daily Routines for Mental Health During and After the Covid-19 Pandemic. Journal of Global Health 10 (2).
Santrock, J.W. (2008). Educational Psychology. McGraw-Hill, 3rd Edition.
White, N.M. (2011). Neurobiology of Sensation and Reward. Taylor & Francis Group.
 
 
 
 
 
 

Wednesday, July 14, 2021

Menstimulasi Perilaku Prososial Anak

Perilaku prososial merupakan salah satu bentuk perilaku yang penting untuk dimiliki oleh setiap individu. Untuk mengembangkan perilaku ini, tentu perlu ada stimulasi yang diberikan, khususnya sejak individu tersebut berada pada masa kanak-kanak. Perilaku prososial adalah sebuah tindakan tulus yang bertujuan untuk menolong orang lain (Eisenberg et al., 2015). Terdapat berbagai macam bentuk dari perilaku prososial, yaitu perilaku berbagi, perilaku menolong, perilaku bekerja sama, perilaku sukarela, dan perilaku menyumbang (Carlo, 2006). 

Sayangnya, tidak semua orang tua menyadari hal ini. Sehingga, jangan heran ketika dewasa, kita kerap menemui orang-orang yang tidak mau menolong atau bahkan tidak mau berbagi dengan orang lain yang membutuhkan. Hal ini disebabkan karena gaya pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua, serta kurangnya atau tidak adanya stimulasi yang diberikan oleh orang tua mereka semasa kecil. Selain itu, terdapat dua faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku prososial, yaitu faktor kognitif dan faktor sosial-emosional (Moore & Macgillivray, 2004). 

Dalam sebuah studi, pengasuhan orang tua disebut sebagai salah satu faktor yang paling berdampak terhadap perilaku prososial pada anak (Darling & Steinberg, 1993). Gaya pengasuhan autoritatif dinilai sebagai gaya pengasuhan yang paling efektif untuk hal ini. Sebab, karakteristik pengasuhan autoritatif menunjukkan support dan bimbingan dari orang tua yang hangat, penuh cinta, demokratis, dan penuh perhatian. Selain itu, dalam gaya pengasuhan autoritatif, orang tua menerapkan disiplin secara adil, mendiskusikan alasan di balik penegakan kedisiplinan, memberikan penjelasan dan pengarahan bagaimana sebaiknya anak mengubah perilakunya di kemudian hari (McKinney, Morse, & Pastuszak, 2016).

Jika orang tua telah menerapkan gaya pengasuhan autoritatif, lalu pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana cara orang tua untuk menstimulasi perilaku prososial pada anak? Saya akan ambil contoh dari tiga perilaku prososial yang paling umum dan mendasar, yaitu perilaku menolong, perilaku berbagi, dan perilaku bekerja sama.

Perilaku menolong: Untuk menstimulasi perilaku menolong pada anak, maka dibutuhkan adanya contoh langsung dari orang tua sebagai role model utama anak. Misalnya: ayah dan ibu saling menunjukkan perilaku menolong kepada satu sama lain; orang tua menolong anak saat si anak menghadapi kesulitan; atau orang tua juga dapat mengajak anak untuk bersama-sama membersihkan rumah dan mengerjakan pekerjaan rumah lainnya untuk menggantikan tugas asisten rumah tangga yang sedang sakit.

Perilaku berbagi: Prinsipnya sama seperti menstimulasi perilaku menolong. Diperlukan adanya contoh kongkrit dan nyata dari orang tua sebagai role model anak. Misalnya: orang tua menampilkan perilaku berbagi kepada asisten rumah tangga atau supir, dengan berbagi makanan, berbagi tunjangan hari raya, berbagi pakaian, dan lain sebagainya. Selain itu, orang tua juga dapat mengajak anak untuk pergi ke panti asuhan atau panti sosial, dan memberikan sumbangan kepada mereka. Berikan penjelasan kepada anak mengapa orang tau perlu melakukan hal tersebut. Penjelasan orang tua kepada anak mengenai pentingnya berbagi, dapat dikaitkan dengan konsep agama. Seperti berzakat dalam ajaran agama Islam, dan menolong sesama dalam ajaran agama Kristiani. 

Perilaku bekerja sama: Orang tua dapat mengajak anak untuk melakukan projek yang perlu dilakukan secara bersama-sama. Misalnya: membuat rumah-rumahan dari bahan seperti kardus bekas. Setelah itu, dapat dihias menggunakan cat air, kertas origami, lem glitter, dan lain-lain. Projek ini dapat dilakukan antara orang tua dengan anak, atau antara anak dengan kakak atau adiknya. Selain itu, orang tua juga dapat menstimulasi perilaku bekerja sama melalui permainan. Anak dipasangkan dengan kakak atau adiknya sebagai satu tim untuk bermain tebak gaya melawan kedua orang tuanya. Sebetulnya, jenis atau pilihan permainan dapat dipilih secara beragam, asalkan anak diberikan kesempatan untuk bekerja sama dengan orang lain.


"Beberapa langkah penting yang orang tua dapat lakukan untuk menstimulasi perilaku prososial pada anak adalah dengan menerapkan gaya pengasuhan yang autoritatif, menjadi role model dengan memberikan contoh kongkrit kepada anak, memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan secara langsung, dan jangan lupa untuk memberikan penguatan berupa pujian atau pelukan untuk menguatkan perilaku prososial tersebut."

 

Ditulis Oleh:

Jane Cindy Linardi, M.Psi, Psikolog.

 

Daftar Referensi:

Carlo, G. (2006). Care-Based and Altruistically-Based Morality. Handbook of Moral Development. pp. 551-579. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum.

Darling, N., & Steinberg, L. (1993). Parenting Style as Context: An Integrative Model. Psychological Bulletin, 113 (3), 487.

Eisenberg et al., (2015). Prosocial Development. Handbook of Child Psychology. Vol. 3: Social, emotion, and personality development. (5th ed., pp. 701-708). Hoboken, NJ: Wiley. 

McKinney, C., Morse, M., & Pastuszak, J. (2016). Effective and ineffective parenting: Associations with psychological adjustment in emerging adults. Journal of Family Issues, 37(9), 1203-1225.

Moore, C., & MacGillivray, S. (2004). Social Understanding And the Development of Prudence And Prosocial Behavior. New Directions for Child And Adolescence Development. pp. 51-62. San Francisco, CA: Jossey-Bass.


 

 


 




Sunday, July 11, 2021

Lindungi Anak Dari Kejahatan Seksual

Kejahatan seksual merupakan sebuah isu sosial dan kemanusiaan yang kerap terjadi di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Korbannya tidak hanya individu dewasa, melainkan juga dapat menimpa anak-anak. Kejahatan seksual pada anak adalah suatu tindakan pemaksaan, ancaman, dan persuasi kepada anak untuk terlibat dalam berbagai bentuk aktivitas seksual. Termasuk pemerkosaan, prostitusi, penganiayaan, dan inses - hubungan seksual sedarah (Perry & DiLillo, 2007). 

Siapakah yang paling rentan untuk menjadi korban kejahatan seksual? 

  • Studi menunjukkan bahwa anak perempuan memiliki kemungkinan yang jauh lebih tinggi untuk menjadi korban dibandingkan anak laki-laki. Tidak hanya itu, anak perempuan juga lebih rentan tiga kali lipat untuk mengalami pemaksaan dan pelecehan seksual yang berbahaya (Sedlak & Broadhurst, 1996). 
  • Aspek usia perkembangan anak juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi. Laporan pemerkosaan dan kejahatan seksual semakin meningkat pada anak-anak yang sudah mencapai fase remaja. Sebab, pada fase remaja, mereka sudah tidak sepenuhnya dalam pengawasan orang tua dan lebih sering beraktivitas di luar rumah bersama dengan teman-teman sebayanya (Unicef, 2020). Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa anak-anak di bawah 17 tahun juga dapat menjadi korban.

Sedangkan, pelaku kejahatan seksual umumnya adalah orang terdekat atau orang yang dikenal oleh anak dan keluarganya. Misalnya: pacar, saudara sepupu yang lebih tua, paman, teman orang tua, tetangga, guru, dan lain sebagainya. Pelaku umumnya adalah laki-laki (Finkelhor et al., 1990). Namun, beberapa studi juga menunjukkan bahwa pelaku bisa saja berjenis kelamin perempuan, sehingga kita tidak boleh mengecilkan kemungkinan ini. 

Dimanakah pelaku biasanya melakukan aksinya? Pelaku dapat melecehkan korbannya di berbagai setting tempat. Meskipun tempat yang paling umum adalah rumah korban atau rumah pelaku, namun tempat lain seperti sekolah, taman bermain, dan tempat les juga dapat dijadikan tempat untuk melecehkan korban. 

Dampak bagi korban yang mengalami kejahatan dan pelecehan seksual adalah (Unicef, 2020):

  • Kesehatan dan kesejahteraan mental yang terganggu. Namun hal ini juga bervariasi, tergantung dari kemampuan coping, respon dari keluarga, teman, dan orang terdekat.
  • Kemungkinan terpaparnya penyakit menular seksual, atau bahkan HIV.
  • Gangguan psikologis seperti kecemasan, depresi, dan trauma.
  • Perilaku self harm - menyakiti diri sendiri.
  • Putus sekolah, atau nilai-nilai akademis yang menurun drastis.

Sebagai orang tua, ada beberapa langkah yang dapat kita lakukan untuk melindungi anak-anak dari kejahatan atau pelecehan seksual, yaitu:

  1. Memberikan pendidikan seksual sejak dini. Pendidikan seksual tentu perlu diajarkan secara bertahap, sesuai dengan usia perkembangan anak. Namun, sudah dapat diberikan sejak anak berusia dua tahun. Mulailah dengan mengajarkan nama alat kelamin dengan istilah yang tepat. Jangan gunakan istilah-istilah lain yang informal.
  2. Biasakan bangun komunikasi dengan anak. Saat anak bercerita, berikan perhatian yang penuh. Beri anak kesempatan untuk menyelesaikan apa yang ingin ia ceritakan. Jangan memotong dan menganggap remeh ceritanya. Hal ini dilakukan agar orang tua dapat memastikan bahwa anak merasa nyaman untuk bercerita apa pun kepada anda.
  3. Ajarkan area tubuh yang sifatnya privat. Area tubuh privat, artinya tidak ada yang boleh menyentuh, meraba, mencium, termasuk melihat bagian tubuh tersebut. Seperti: alat kelamin, bagian paha, bokong, dan dada. Orang tua juga dapat mengajarkan mengenai konsep "aurat" untuk memudahkan anak memahami hal ini, termasuk batasan aurat untuk laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, biasakan anak sejak dini untuk berpakaian di ruangan tertutup, dan langsung mengenakan pakaian setelah ia selesai mandi. 
  4. Jelaskan mengenai perilaku yang salah, termasuk rahasia yang tidak baik. Perilaku yang salah: saat orang lain menyentuh area tubuh privat anak, maka yang salah adalah orang tersebut, bukan anak. Sedangkan, rahasia yang tidak baik adalah saat anak diminta untuk merahasiakan kejadian tersebut. 
  5. Biasakan anak untuk tetap waspada. Anak perlu waspada termasuk kepada orang-orang terdekat yang ia kenal. Misal: anggota keluarga, tetangga, supir, pekerja di rumah, guru, office boy di sekolah, dan lain sebagainya. Hal ini mengacu kepada studi yang menunjukkan bahwa pelaku kejahatan seksual adalah orang yang dikenal atau beraktivitas dekat dengan anak.
  6. Ajarkan anak teknik "escaping". Saat anak berada dalam situasi yang membuatnya tidak nyaman, termasuk saat area tubuh privatnya mulai disentuh oleh orang lain, ajarkan anak untuk segera berteriak dan berlari. Kemudian, cari dan temui orang tua, guru, atau saudara (tergantung setting tempat kejadian) untuk segera menceritakan kejadian yang ia alami. 
  7. Orang tua harus melek informasi. Jangan menganggap enteng atau merasa "aman" untuk meninggalkan anak dengan orang-orang yang dianggap sudah dikenal dan dapat dipercaya (berkaitan dengan karakteristik pelaku kejahatan seksual secara umum). Orang tua tentu perlu melakukan observasi terlebih dahulu dan tidak lengah dalam mengawasi anak-anaknya. Selain itu, pastikan orang tua mengetahui betapa pentingnya mengajarkan pendidikan seksual pada anak sejak dini. 

 

Ditulis Oleh:

Jane Cindy Linardi, M.Psi, Psikolog.

 

Daftar Referensi: 

Finkelhor, et al., (1990). Sexual Abuse in a National Survey of Adult Men and Women: Prevelances, Characteristic, and Risk Factors. Child Abuse and Neglect, vol. 14, no. 1, p. 19-28.

Perry, A. R., & DiLillo, D. (2007). Child Sexual Abuse. The Encyclopedia of Domestic Violance, p. 147-156. Taylor & Francis Group LLC.

Sedlak, A. J., & Broadhurst, D. (1996). Executive Summary of the Third National Incidence Study of Child Abuse and Neglect. Washington, DC: Department of Health and Human Services.

Unicef Child Protection Section Programme (2020). Action to End Child Sexual Abuse and Exploitation. End Violance Againts Children. 


 

Saturday, July 10, 2021

Dampak Negatif Body Shaming

Penggunaan sosial media di era modern, memberikan akses yang semakin luas kepada masyarakat terhadap informasi akan gambaran tubuh yang dianggap ideal, baik dari bentuk, warna kulit, tinggi badan, dan sebagainya. Hal ini tentu akan membentuk persepsi tersendiri di masyarakat tentang bagaimana seharusnya tubuh yang ideal dimiliki oleh setiap orang. 

Mudahnya akses terhadap akun sosial media, juga membuat individu semakin mudah untuk memberikan penilaian atau komentar terhadap apa yang ditampilkan orang lain dalam sosial medianya. Beberapa dari mereka bahkan berlindung di balik akun-akun palsu, agar dapat dengan leluasa memberikan komentar negatif atau ejekan terhadap orang lain, termasuk dalam aspek fisik.

Tindakan mengejek dan berkomentar negatif terhadap tampilan fisik seseorang, dikenal dengan istilah body shaming (Fauzia & Rahmiaji, 2019). Pelaku body shaming biasanya mengejek orang-orang dengan penampilan fisik yang dianggap berbeda dengan patokan masyarakat pada umumnya. Obyek body shaming adalah: bentuk, ukuran, tinggi, warna kulit, kondisi kulit (termasuk kulit wajah), jenis rambut, kelainan fisik karena genetik atau insiden, serta semua hal yang dianggap "berbeda" dari standar. 

Perilaku body shaming ini merupakan salah satu jenis perundungan (bullying), yaitu perundungan dalam bentuk verbal. 

Beberapa bentuk penyampaian body shaming, yaitu:

  1. Verbal lisan: berupa gurauan, ejekan, name calling (misalnya: si gendut, bola, gajah, dll), serta komentar negatif yang dilontarkan secara langsung.
  2. Verbal tertulis: dibuat secara tertulis melalui kolom komentar pada sosial media (misal: instagram, facebook, twitter, dll), pesan singkat (seperti whatsapp, line, atau direct message di instagram), dan posting-an sosial media.

Siapa pun dapat menjadi pelaku body shaming, termasuk orang-orang terdekat kita, seperti anggota keluarga, orang tua, teman, pacar, suami, istri, dan guru. Bahkan orang yang tidak kita kenal sekali pun juga dapat menjadi pelaku (umumnya lebih banyak terjadi di sosial media).

Apa yang terjadi pada orang-orang yang kerap mendapatkan body shaming? Mereka umumnya merasakan stress, depresi, kecemasan, merasa inferior, bahkan menghindari kontak sosial dengan orang lain (Sugiati, 2019). Selain itu, body shaming juga dapat menyebabkan gambaran diri (self image) seseorang menjadi negatif (misalnya: merasa bahwa dirinya jelek, tidak terlihat menarik, dsb), merasa insecure, tidak percaya diri, mengalami gangguan makan seperti anoreksia atau bulimia, termasuk melakukan olahraga secara ekstrim.

Individu yang berada pada tahap perkembangan usia remaja, adalah individu yang paling rentan mengalami dampak negatif dari body shaming. Sebab, remaja berada pada tahap perkembangan psikologis yang potensial, namun rentan karena adanya fase krisis identitas (Hurlock, 1996). 

Pada fase remaja, mereka secara natural memang mengalami perubahan secara fisik terkait pubertas. Perubahan dalam bentuk ukuran dan bentuk tubuh, misalnya ukuran payudara, ukuran panggul, ukuran dada, dan lain sebagainya. Perubahan ini tidak sepenuhnya dapat diterima oleh sebagian remaja. Data menyebutkan bahwa, 46% remaja perempuan dan 26% remaja laki-laki merasa tidak puas dengan perubahan tubuhnya selama pubertas (Hogan & Starsburger, 2008).

Body shaming tidak hanya dapat terjadi pada perempuan, yang umumnya berkaitan dengan bentuk tubuh seperti langsing dan gemuk. Namun, body shaming juga dapat terjadi pada laki-laki, yang lebih menekankan pada bentuk tubuh maskulin, berotot, dan bentuk perut yang six pack (McFarland & Petrie, 2012). 

Lalu, bagaimana cara mengatasi body shaming?

  • Mulailah dari diri sendiri! Berhenti memberikan komentar negatif terkait kondisi tubuh seseorang, meskipun hanya dengan tujuan "bercanda"
  • Memilah akun-akun pada sosial media yang kita ikuti (follow), selain itu kita juga dapat mematikan kolom komentar atau memblokir komentar untuk menyaring hal-hal negatif yang akan masuk ke akun sosial media kita.
  • Ekspresikan apa yang kita rasakan saat menerima body shaming, sampaikan langsung kepada pelaku. Termasuk jika pelaku adalah orang terdekat kita seperti keluarga, pasangan hidup, pacar, teman, dll.
  • Temukanlah hal-hal positif yang ada dalam diri kita. Minta feedback dari orang terdekat terkait kelebihan atau kekuatan yang kita miliki. 
  • Lakukan journaling terkait penilaian pribadi kita terhadap semua hal positif yang kita miliki.


"Tubuh dan penampilan fisik tidak harus sempurna, karena pada dasarnya kita tidak mungkin mencapai kesempuranaan. Lihatlah hal-hal positif lain yang kita miliki, seperti kelebihan, bakat, pencapaian, dan kekuatan diri."

 

Ditulis Oleh:

Jane Cindy, M.Psi, Psikolog.

 

Daftar Refrensi:

Fauzia, T. F., & Rahmiaji, R. L. (2019). Mendalami Pengalaman Body Shaming Pada Remaja Perempuan. Jurnal Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Universitas Diponegoro.

Hogan, M. J., & Starsburger, V. C. (2008). Body Image, Eating Disorder, and The Media. American Academy of Pediatrics.

Hurlock, E. B. (1996). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Erlangga: Jakarta.

McFarland, M. B., & Petrie, T. A. (2012). Male Body Satisfaction: Factorial and Construct Validity of Body Part Satisfaction Scale for Men. Journal of Counseling Psychology, 59 (2), 329.

Sugiati, T. (2019). The Influence of Body Shaming Towards FISIP Airlangga University Students Behaviour Pattern. Indonesian Journal of Social Science, Volume 11, No. 02, p. 16-24.


Friday, July 9, 2021

Gejala Baby Blues, Normalkah?

Kehamilan dan melahirkan, seharusnya menjadi sebuah momen yang bahagia dan paling ditunggu-tunggu oleh calon ibu. Menyiapkan kebutuhan dan perlengkapan si kecil, mengadakan gender reveal party, atau acara baby shower kerap dilakukan oleh sebagian ibu yang sedang menunggu waktu kelahiran bayinya. 

Setelah melahirkan, perasaan bahagia umumnya dirasakan oleh mereka yang juga "lahir baru" sebagai seorang ibu. Namun, hal ini tidak dirasakan oleh sebagian ibu lainnya. Mereka justru merasakan kesedihan yang luar biasa, mereka bahkan menangis tanpa sebab yang jelas. Belum lagi perasaan cemas, khawatir, dan tegang yang dirasakan setelah bayi mereka lahir (Suryati, 2008). Hal ini dialami oleh 50% sampai 70% ibu-ibu di Indonesia (Susanti & Sulistiyanti, 2017).

Mungkin sebagian dari kita akan bertanya-tanya, kenapa hal ini bisa terjadi? Bukankah seharusnya mereka bahagia karena telah dikaruniai seorang anak? Apakah mereka bersikap seperti itu hanya untuk "mencari perhatian" dari keluarga dan teman-teman? 

Apa yang dirasakan oleh sebagian dari ibu-ibu yang bayinya telah lahir, disebut dengan sindrom baby blues, yaitu gangguan mood (suasana hati) yang bersifat sementara atau singkat, umumnya terjadi beberapa hari (kurang lebih sepuluh sampai empat belas hari) setelah melahirkan, namun tidak sampai menghambat fungsi keseharian si ibu (Tulak, Yusriani, & Idris, 2019). Jika, gejala tersebut berlanjut setelah 2 minggu pasca melahirkan, maka dapat dikategorikan sebagai postpartum depression. 

Beberapa gejala baby blues adalah: 

  • Kondisi suasana hati atau mood yang tidak stabil
  • Umumnya didominasi oleh emosi negatif, seperti kesedihan, cemas, dan khawatir khususnya terhadap kemampuannya menjalani peran baru sebagai seorang ibu
  • Menangis tanpa sebab, mudah tersinggung
  • Sakit kepala
  • Perubahan pada pola makan dan pola tidur (dapat mengalami peningkatan atau penurunan pada kedua hal tsb)
  • Perasaan tidak berharga, dan cenderung menyalahkan diri sendiri
 
Lalu, hal apa sajakah yang dapat menjadi faktor pemicu sindrom baby blues? Berikut penjelasannya berdasarkan Susanti & Sulistiyanti (2017):
  1. Faktor Internal: penurunan hormon yang drastis pasca melahirkan (seperti hormon estrogen, progesteron, endorphin, tiroid, dsb) sehingga mempengaruhi suasana hati dan kondisi tubuh; pribadi yang rentan terhadap tekanan atau stressor; kemampuan penyesuaian diri yang lambat; kemampuan coping stress yang rendah; kurangnya rasa kepercayaan diri; dan ketidaksiapan mental untuk menjadi seorang ibu.
  2. Faktor Eksternal: kurangnya dukungan sosial dari suami dan keluarga, berupa perhatian, komunikasi, hubungan emosional yang hangat; persalinan premature yang menyebabkan bayi lahir dengan berat badan yang rendah; adanya tuntutan yang berlebihan terhadap ibu, serta kehamilan yang tidak terduga atau tidak diinginkan.

Meskipun sindrom baby blues ini telah terjadi dan dialami langsung oleh anda, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasinya, yaitu: (a) mencari dukungan sosial, sampaikan kekhawatiran dan emosi yang sedang dirasakan kepada suami atau orang-orang terdekat; (b) jangan sungkan untuk menerima bantuan misalnya dengan mempekerjakan baby sitter, asisten rumah tangga, atau menerima bantuan langsung dari orang tua / mertua; (c) sebisa mungkin ikut tidur saat bayi tertidur; (d) ingat bahwa tidak ada pengasuhan yang sempurna, tidak ada ibu yang sempurna; (e) jangan ragu untuk berkonsultasi kepada psikolog.
 
Sedangkan, untuk para suami, kalian juga dapat mengatasi sindrom baby blues yang dialami oleh istri dengan cara: (a) bertanya hal-hal apa saja yang dapat anda lakukan untuk membantu istri; (b) beri bantuan secara langsung tanpa menunda; (c) beri kepercayaan dan afirmasi bahwa istri anda mampu menjalani peran barunya dengan baik (hal ini penting untuk membantu meningkatkan self esteem).

Untuk para suami-istri yang baru menikah, yang istrinya belum mengalami kehamilan, kalian dapat mencegah sindrom baby blues dengan cara-cara berikut:
  • Rencanakan dan persiapkan kehamilan dengan matang
  • Melakukan persiapan finansial
  • Persiapan kesehatan sebelum kehamilan terjadi
  • Tingkatkan pengetahuan pasca melahirkan (dapat dengan cara membaca artikel, berkonsultasi dengan dokter, dsb).
  • Membagi peran antara istri dan suami, diskusikan dengan jelas
  • Rencanakan apakah setelah proses melahirkan, kalian akan membutuhkan bantuan baby sitter atau asisten rumah tangga (berkaitan dengan persiapan finansial juga)

"Menjadi seorang ibu adalah sebuah proses, kalian tidak diwajibkan untuk merasa kuat setiap waktu. Tidak perlu menjadi sempurna, karena pada dasarnya tidak ada ibu yang sempurna. Jangan ragu untuk mencari pertolongan atau berkonsultasi kepada psikolog jika kalian merasa suasana hati berubah-ubah, mengalami kesedihan, dan meragukan kemampuan kalian untuk menjalani peran baru sebagai ibu."

 

Ditulis Oleh:

Jane Cindy Linardi, M.Psi, Psikolog.

 

Daftar Refrensi:

Suryati. (2008). The Baby Blues and Postnatal Deppression. Jurnal Kesehatan Masyarakat, Edisi Maret 2008 - September 2008, Vol. II.

Susanti, L. W., Sulistiyanti, A. (2017). Analisis Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Baby Blues Syndrome Pada Ibu Nifas. Jurnal Ilmiah Rekam Medis dan Informatika Kesehatan, Vol. 7: No. 2.

Tulak, L. A., Yusriani., Idris, F. P. (2019). Sumber Koping Pada Ibu yang Mengalami Baby Blues Syndrome di RS. Elim Rantepao. Window of Health: Jurnal Kesehatan, Vol. 2: No. 2. 





 



Wednesday, July 7, 2021

Panic Buying di Tengah Pandemi

Fenomena panic buying di Indonesia sudah mulai muncul sejak awal pandemi Covid-19, yaitu sekitar bulan Maret 2020. Pada masa itu, sebagian masyarakat melakukan pembelian masker medis dalam jumlah yang banyak, sehingga ketersediaan masker menjadi langka dan terjadi lonjakan harga yang sangat signifikan. Beberapa bulan setelahnya, terjadi panic buying terhadap multivitamin, khususnya vitamin C.

Kemudian, kasus yang baru-baru ini terjadi adalah panic buying terhadap produk susu dan obat-obatan dengan merek dagang tertentu, yang dipercaya ampuh untuk "mengobati" virus Covid-19. 

Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan panic buying? Apakah ada latar belakang psikologis yang membuat fenomena ini terjadi?

Panic buying diartikan sebagai sebuah tindakan membeli dan menimbun berbagai produk yang dirasa penting dalam jumlah yang besar, untuk menghindari ketakutan akan langkanya produk tersebut di masa yang akan datang (Shadiqi, Hariati, & Hasan, 2020). 

Bahkan, menurut sejumlah penelitian, panic buying juga sudah terjadi bahkan sebelum pandemi Covid-19, yaitu di masa flu Spanyol pada tahun 1918. Sehingga, perilaku panic buying disimpulkan sebagai sebuah respon individu terhadap stress di tengah-tengah kejadian yang luar biasa (Eva, Saputra, Wulandari, et al., 2020). 

Karakteristik perilaku panic buying adalah: tidak terkendali, terjadi secara tiba-tiba, dilakukan oleh lebih dari satu individu, dan didasarkan pada perasaan takut dan cemas (Arafat et al., 2020). Beberapa studi pun menyatakan bahwa panic buying didasarkan pada kondisi emosi seseorang (Aquino, Natividade, & Lins, 2020). 

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya perilaku panic buying (Yuen, Wang, Ma, & Li, 2020). Berikut penjabarannya:

  1. Persepsi: yaitu tindakan individu untuk menafsirkan event atau kejadian luar biasa seperti pandemi. Dalam tahap awal, akan muncul persepsi terhadap adanya "ancaman" yang dirasakan, kemudian tahap berikutnya adalah persepsi bahwa akan terjadi kelangkaan terhadap produk-produk yang dirasa penting bagi individu tersebut. Misalnya: masker medis, vitamin, susu, obat-obatan, dan lain sebagainya.
  2.  Ketakutan terhadap ketidakpastian: secara umum, individu akan merasakan emosi negatif berupa kecemasan dan ketakutan selama pandemi Covid-19. Hal ini disebabkan karena ketidakmampuan seseorang untuk memprediksi hasil dari pandemi yang berkepanjangan. Sehingga, "ketidakpastian" adalah hal yang dirasakan oleh hampir semua individu. Perilaku panic buying dilakukan sebagai sebuah kompensasi agar individu tersebut dapat merasa aman (secure) dan nyaman. 
  3. Coping behaviour: melakukan perilaku panic buying merupakan sarana untuk "memegang kendali" terhadap situasi pandemi. Kecenderungan manusia untuk memegang kendali dirasa sebagai salah satu cara untuk bertahan hidup (survive). 
  4. Pengaruh sosial: individu adalah bagian dari masyarakat, sehingga segala keputusan, perilaku, dan kepercayaan dapat dipengaruhi oleh mayoritas masyarakat lainnya. Oleh karena itu, individu dapat mengubah atau menyesuaikan perilakunya agar memenuhi tuntutan dari lingkungan sosialnya. Selain itu, kepercayaan individu terhadap komunitas juga turut memainkan peranan yang penting. Apakah komunitas tempat tinggalnya dinilai sebagai kelompok yang suka berbagi, saling menolong, saling memperhatikan, dsb. 

Sedangkan, menurut Kaur & Malik (2020), faktor yang mempengaruhi panic buying adalah sebagai berikut:

  1. Potensi terhambatnya supply: Konsumen mengevaluasi sendiri resiko terhambatnya supply terhadap produk yang dirasa penting baginya. Sehingga, mereka memutuskan untuk membeli produk tersebut dalam jumlah yang banyak.
  2. Pengaruh kondisi emosi antar individu: Hal ini terjadi saat kondisi emosi seseorang, turut mempengaruhi emosi orang lain, dan seterusnya, sehingga menimbulkan efek snowball. Akibatnya, perilaku panic buying tidak dapat terhindarkan.
  3. Perasaan tidak mampu mengelola stress: Kondisi ini merupakan salah satu faktor terbesar yang membuat beberapa individu melakukan perilaku panic buying. Perilaku membeli dan menimbun produk dalam jumlah yang banyak merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh mereka untuk melepaskan stress yang dirasakan. 
  4. Kondisi demografis: Karakteristik demografis seperti usia, gender, dan latar belakang pendidikan memiliki pengaruh yang besar terhadap munculnya perilaku panic buying.

 

Namun, di tengah-tengah fenomena ini, ada sebagian masyarakat yang tidak menunjukkan perilaku panic buying di masa pandemi Covid, mengapa hal tersebut dapat terjadi? 

Ternyata, individu yang memusatkan fokus perhatiannya pada apa yang terjadi di "masa sekarang" atau present moment, serta individu yang optimis dan memiliki ekspektasi yang positif terhadap "masa depan", memiliki kecenderungan yang jauh lebih rendah untuk menampilkan perilaku panic buying

 

Pentingnya menjaga fokus kita terhadap apa yang terjadi saat ini, kemampuan untuk berpikir positif, optimis, mengelola emosi, serta berempati terhadap orang-orang yang lebih membutuhkan, merupakan kunci agar perilaku panic buying tidak semakin meningkat di masyarakat.

 

Ditulis oleh:

Jane Cindy Linardi, M.Psi, Psikolog.

 

Daftar Refrensi:

Arafat, S. M. Y., et al. (2020). Psychological Underpinning of Panic Buying During Pandemic Covid-19. Psychiatry Research, issue 289. 

Aquino, S, D., et al. (2020). Validity Evidences of The Buying Impulsiveness Scale in Brazilian Context. Psico-USF, vol. 25, issue 1, pp. 15-25.

Eva, N., et al. (2020). Panic Buying Behavior During The Covid-19 Outbreak: A Cross Cultural Psychological Study. International Confrence of Psychology. KnE Social Sciences, pages 80-87.

Kaur, A., Malik, G. (2020). Understanding The Psychology Behind Panic Buying: A Grounded Theory Approach. Journal of Sage. 

Shadiqi, M. A., et al. (2020). Panic Buying Pada Pandemi Covid-19: Telaah Literatur Dari Perspektif Psikologi. Jurnal Psikologi Sosial, issue 18.

Yuen, K. F., et al. (2020). The Psychological Causes of Panic Buying Following a Health Crisis. International Journal of  Environmental Research and Public Health, volume 17(10).

 



 




Tuesday, July 6, 2021

Komponen Penting Dalam Cinta

Cinta sering diartikan terlalu dini oleh sebagian orang, sehingga mereka terlalu cepat dalam mengambil keputusan untuk menjalin hubungan yang serius, bahkan keputusan untuk terikat dalam sebuah pernikahan.

Hanya karena ketertarikan akan penampilan fisik dengan wajah yang tampan / cantik, maka sudah dideskripsikan sebagai sebuah cinta yang utuh dan dijadikan sebagai alasan yang kuat untuk segera menjalin hubungan. Hanya karena melihat kebaikan sifatnya, maka merasa sudah sepenuhnya jatuh cinta dan siap berkomitmen. Padahal, cinta dan hubungan sifatnya tidak sedangkal itu. 

Cinta adalah perasaan yang kompleks, serta merupakan sebuah kombinasi antara emosi, kognisi, dan perilaku yang berperan sangat penting dalam sebuah hubungan (Kochhar & Sharma, 2015). 

Terdapat beberapa elemen penting dalam cinta dan hubungan. Seperti yang dinyatakan oleh Stenberg (1986) dalam teori triangular model of love, bahwa cinta memiliki tiga elemen penting. Ketiga elemen tersebut adalah:

Intimacy: Kedekatan dan keterikatan dengan pasangan. Adanya perasaan saling memberikan dan menerima dukungan emosional, saling menjalin komunikasi yang intens, serta saling memahami antar pasangan.

Passion: Mengarah pada percintaan, adanya ketertarikan fisik dan ketertarikan seksual. Serta, muncul keinginan kuat untuk menghabiskan waktu dengan pasangan.

Commitment: Keputusan untuk mencintai seseorang dan mempertahankan cinta dalam jangka waktu yang panjang. Dalam menjalin hubungan romantis, akan ada fase naik turun, sehingga komitmen sangat diperlukan untuk mempertahankan sebuah hubungan. 

Cinta yang sempurna atau consummate love adalah cinta yang stabil dan ditandai dengan adanya ketiga elemen tersebut, intimacy, passion, dan commitment.

Silahkan merefleksikan diri masing-masing, apakah hubungan yang sedang kalian jalani dengan pasangan sudah termasuk cinta yang sempurna? Apakah ketiga elemen tersebut sudah lengkap?

Bagaimana jika hubungan kalian hanya terdapat 2 elemen cinta saja? Atau bahkan hanya terdapat 1 elemen saja? Termasuk ke dalam tipe cinta yang manakah hubungan yang sedang dijalani?

Marilah kita telaah satu per satu berdasarkan teori Stenberg (1986):

  • Hubungan yang hanya terdapat satu elemen saja:
    • Adanya elemen intimacy. Namun, dalam hubungan ini tidak terdapat elemen passion dan commitment. Maka, hubungan ini disebut dengan liking atau saling menyukai. Misalnya: hubungan pertemanan
    • Adanya elemen passion (gairah). Namun, dalam hubungan ini tidak terdapat elemen intimacy dan commitment. Maka, hubungan ini hanyalah sebatas hubungan yang menggebu-gebu, yang mungkin tujuan utamanya hanyalah berhubungan seksual, tanpa ikatan apa pun. Misalnya: one night stand. Hubungan ini biasa disebut dengan infatuated love
    • Adanya elemen commitment. Namun, dalam hubungan tersebut tidak terdapat elemen intimacy dan passion. Misalnya: hubungan pernikahan yang dijodohkan, atau hubungan yang sifatnya stagnan. Hubungan ini disebut dengan empty love 
 
  • Hubungan yang hanya terdapat dua elemen saja:
    • Adanya elemen intimacy dan passion. Namun, dalam hubungan ini tidak terdaapt elemen commitment.  Misalnya: hubungan tanpa status (HTS). Hubungan ini disebut dengan istilah romantic love
    • Adanya elemen intimacy dan commitment. Namun tidak adanya passion atau gairah dalam hubungan tersebut. Hubungan ini disebut dengan companionate love, misalnya: hubungan persahabatan yang sudah dijalin sejak lama.
    • Adanya elemen passion dan commitment. Namun, elemen intimacy tidak ada. Hubungan ini disebut dengan fatuous love. Komitmen dibangun berdasarkan gairah semata, tanpa adanya kedekatan. Misalnya: pasangan yang baru saja berkenalan, bertunangan pada beberapa bulan setelahnya, dan segera melangsungkan pernikahan.
 
Sudahkah kalian menemukan, tipa hubungan mana yang sedang kalian jalani? Ingat, jangan terburu-buru untuk mengambil keputusan menikah. Refleksikan terlebih dahulu hubungannya. Apakah hubungan ini membuat saya nyaman? Apakah hubungan ini membuat saya bahagia? Apakah saya dapat menjadi diri saya sendiri seutuhnya dalam hubungan yang sedang saya jalani? Apakah pasangan saya memberikan saya kebebasan untuk menjalani karir yang saya sangat sukai? Apakah saya semakin bertumbuh ke arah yang positif dalam hubungan ini?
 
Cinta dan hubungan adalah suatu hal yang kompleks. Dibutuhkan kedewasaan dan sikap untuk mau merefleksikan hubungan yang sedang dijalani. Diperlukan perencanaan yang matang untuk mengambil keputusan besar yaitu melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan. Take your time!

 

Ditulis oleh:

Jane Cindy Linardi, M.Psi, Psikolog.

 

Daftar Refrensi:

Kochhar, R., Sharma, D. (2015). Role of Love in Relationship Satisfaction. The Internal Journal of Indian Psychology 3 (1) : 81-107.

Stenberg, R.J. (1986). A Triangular Theory of Love. Psychological Review, 92 (3), 119.


Monday, July 5, 2021

Mengelola Pola Pikir Sehat di Tengah Pandemi

Pandemi Covid-19 sudah menyerang selama hampir satu setengah tahun di Indonesia. Berbagai tekanan sudah dirasakan, baik tekanan dari bidang ekonomi seperti kehilangan pekerjaan, penurunan pendapatan, sampai tekanan dari bidang kesehatan seperti tertular virus Covid-19, kelelahan tenaga kesehatan, keterbatasan rumah sakit, langkanya tabung oksigen, dan lain sebagainya. 

Masyarakat masih mengalami ketidakpastian dalam berbagai hal. Kapan pandemi Covid akan berakhir? Apakah saya juga akan tertular virus Covid?  Apakah orang-orang yang serumah dengan saya akan tetap sehat jika saya masih memiliki mobilitas yang tinggi untuk bekerja? Apakah bisnis dan pekerjaan saya akan tetap berjalan dengan baik? Berbagai ketidakpastian tersebut tentu akan membawa dampak psikologis tersendiri.

Seperti yang dinyatakan oleh Brooks (2020) bahwa pandemi Covid-19 membawa beberapa dampak psikologis yang dirasakan oleh masyarakat seperti: frustasi, ketakutan, kekhawatiran, kecemasan, kegelisahan, serta merasa diri tidak berdaya. 

Namun, dampak-dampak psikologis yang mungkin terjadi itu adalah suatu reaksi yang normal, dan setiap orang dapat mengalaminya. Kabar baiknya, hal tersebut bahkan bisa ditangani dengan cara mengelola pola pikir yang sehat (healthy mindset). 

Mengapa mengelola pola pikir yang sehat itu menjadi penting? Sebab, pikiran kita mempengaruhi aspek perasaan dan perilaku (Edelman, 2013). Contohnya:

  • Pikiran: "Hari ini, saya pasti akan bersinggungan dengan virus Covid-19 dari orang-orang yang ada di kantor."
  • Perasaan: Saya merasa takut dan cemas selama bekerja di kantor
  • Perilaku: Pekerjaan saya jadi terhambat, karena saya sibuk mencuci tangan dan berkali-kali berpindah tempat untuk mencari tempat yang sepi. 

Berawal dari pola pikir yang keliru dan negatif, akan sangat berdampak ke hasil akhir (outcome) yang muncul. 

 Hasil akhirnya akan menjadi berbeda, ketika dari awal kita memiliki pola pikir yang sehat. Contoh:

  • Pikiran: "Hari ini, saya akan menikmati waktu bekerja dan akan memberikan yang terbaik, sambil tetap menjaga protokol kesehatan."
  • Perasaan: Saya merasa tenang dan senang selama bekerja di kantor
  • Perilaku: Pekerjaan saya lancar, dan dapat selesai tepat waktu

Bagaimana caranya, agar kita tetap dapat menjaga pola pikir yang sehat? Fokuslah dengan hal-hal apa saja yang bisa kita kontrol atau kendalikan. Kontrol dapat dilihat sebagai sebuah proses untuk mencapai target (goal), saat di hadapkan oleh gangguan atau hambatan (Mansell & Marken, 2015). 

Dalam konteks pandemi Covid-19, hal-hal apa saya yang dapat kita kontrol / kendalikan?

  • Mengikuti vaksinasi Covid-19
  • Menggunakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan mengurangi mobilitas
  • Meningkatkan konsumsi sayur dan buah-buahan
  • Mengkonsumsi multivitamin (misal: vitamin C, vitamin D, dan Zinc)
  • Melakukan olahraga secara teratur
  • Rutin berjemur di pagi hari
  • Melatih pola pikir positif

Hal-hal di atas sepenuhnya ada dalam genggaman dan kontrol kita. Sedangkan, banyak juga hal lainnya yang berada di luar kendali kita. Seperti:

  • Kapan pandemi akan berakhir
  • Virus Covid itu sendiri
  • Bertemu atau melakukan kontak dengan orang yang positif Covid
  • Kondisi kesehatan keluarga
  • Perekonomian negara
  • Pola pikir (mindset) orang lain

Semakin kita fokus pada hal-hal yang dapat kita kendalikan, maka akan mengurangi rasa cemas, khawatir, dan takut yang kita rasakan di masa pandemi ini. Demikian pula sebaliknya, saat kita terlalu fokus dengan hal yang tidak dapat kita kendalikan, maka akan semakin tinggi tingkat stress dan kecemasan yang kita rasakan.

Selain itu, teknik mindfulness juga dapat menjadi alternatif lain untuk melatih pola pikir yang sehat. Mindfulness adalah sebuah bentuk kesadaran yang memfokuskan pada hal-hal yang terjadi di masa sekarang (saat ini) dengan perhatian penuh, bukan berfokus pada masa lalu atau masa yang akan datang (Bishop et al., 2004). 

Dengan memfokuskan diri pada hal-hal yang terjadi saat ini (present moment) serta terhadap hal-hal yang dapat kita kendalikan sepenuhnya, maka kesehatan mental termasuk pola pikir kita akan menjadi  sehat dan positif. Hal ini tentu akan membuat kita lebih tenang dalam menjalani keseharian di masa pandemi Covid-19. 

 

Pandemi adalah masa yang sulit bagi kita semua, berbagai tekanan dirasakan dalam keseharian. Namun, kemudi sepenuhnya ada di tangan kita. Fokuslah dengan hal-hal yang dapat dikontrol, serta arahkan kesadaran kita sepenuhnya terhadap hal yang terjadi di saat ini.

 

Ditulis oleh: 

Jane Cindy Linardi, M.Psi, Psikolog.

 

Daftar Referensi:

Bishop, S.R., Lau, M., Shapiro, S., Carlson, R., Anderson, N.D., et al. (2004). Mindfulness: A proposed operational definition. Clinical Psychology: Science & Practice, 11(3): 230-241.

Brooks, K.S. (2020). The Psychological Impact of Quarantine and How to Reduce It: Rapid Review of the Evidence. Lancet, 395, pp. 912-920. 

Edelman, S. (2013). Change Your Thinking. ABC Books, 3rd Edition.

Mansell, W., Marken, R,S. (2015). The Origins and Future of Control Theory in Psychology. Review of General Psychology, 19(4): 425-430.

 


 

Regulasi Emosi Pada Anak

 Regulasi emosi adalah suatu rangkaian proses intrinsik dan ekstrinsik pada diri seseorang yang bertujuan untuk memonitor, mengevaluasi, dan...