Fenomena panic buying di Indonesia sudah mulai muncul sejak awal pandemi Covid-19, yaitu sekitar bulan Maret 2020. Pada masa itu, sebagian masyarakat melakukan pembelian masker medis dalam jumlah yang banyak, sehingga ketersediaan masker menjadi langka dan terjadi lonjakan harga yang sangat signifikan. Beberapa bulan setelahnya, terjadi panic buying terhadap multivitamin, khususnya vitamin C.
Kemudian, kasus yang baru-baru ini terjadi adalah panic buying terhadap produk susu dan obat-obatan dengan merek dagang tertentu, yang dipercaya ampuh untuk "mengobati" virus Covid-19.
Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan panic buying? Apakah ada latar belakang psikologis yang membuat fenomena ini terjadi?
Panic buying diartikan sebagai sebuah tindakan membeli dan menimbun berbagai produk yang dirasa penting dalam jumlah yang besar, untuk menghindari ketakutan akan langkanya produk tersebut di masa yang akan datang (Shadiqi, Hariati, & Hasan, 2020).
Bahkan, menurut sejumlah penelitian, panic buying juga sudah terjadi bahkan sebelum pandemi Covid-19, yaitu di masa flu Spanyol pada tahun 1918. Sehingga, perilaku panic buying disimpulkan sebagai sebuah respon individu terhadap stress di tengah-tengah kejadian yang luar biasa (Eva, Saputra, Wulandari, et al., 2020).
Karakteristik perilaku panic buying adalah: tidak terkendali, terjadi secara tiba-tiba, dilakukan oleh lebih dari satu individu, dan didasarkan pada perasaan takut dan cemas (Arafat et al., 2020). Beberapa studi pun menyatakan bahwa panic buying didasarkan pada kondisi emosi seseorang (Aquino, Natividade, & Lins, 2020).
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya perilaku panic buying (Yuen, Wang, Ma, & Li, 2020). Berikut penjabarannya:
- Persepsi: yaitu tindakan individu untuk menafsirkan event atau kejadian luar biasa seperti pandemi. Dalam tahap awal, akan muncul persepsi terhadap adanya "ancaman" yang dirasakan, kemudian tahap berikutnya adalah persepsi bahwa akan terjadi kelangkaan terhadap produk-produk yang dirasa penting bagi individu tersebut. Misalnya: masker medis, vitamin, susu, obat-obatan, dan lain sebagainya.
- Ketakutan terhadap ketidakpastian: secara umum, individu akan merasakan emosi negatif berupa kecemasan dan ketakutan selama pandemi Covid-19. Hal ini disebabkan karena ketidakmampuan seseorang untuk memprediksi hasil dari pandemi yang berkepanjangan. Sehingga, "ketidakpastian" adalah hal yang dirasakan oleh hampir semua individu. Perilaku panic buying dilakukan sebagai sebuah kompensasi agar individu tersebut dapat merasa aman (secure) dan nyaman.
- Coping behaviour: melakukan perilaku panic buying merupakan sarana untuk "memegang kendali" terhadap situasi pandemi. Kecenderungan manusia untuk memegang kendali dirasa sebagai salah satu cara untuk bertahan hidup (survive).
- Pengaruh sosial: individu adalah bagian dari masyarakat, sehingga segala keputusan, perilaku, dan kepercayaan dapat dipengaruhi oleh mayoritas masyarakat lainnya. Oleh karena itu, individu dapat mengubah atau menyesuaikan perilakunya agar memenuhi tuntutan dari lingkungan sosialnya. Selain itu, kepercayaan individu terhadap komunitas juga turut memainkan peranan yang penting. Apakah komunitas tempat tinggalnya dinilai sebagai kelompok yang suka berbagi, saling menolong, saling memperhatikan, dsb.
Sedangkan, menurut Kaur & Malik (2020), faktor yang mempengaruhi panic buying adalah sebagai berikut:
- Potensi terhambatnya supply: Konsumen mengevaluasi sendiri resiko terhambatnya supply terhadap produk yang dirasa penting baginya. Sehingga, mereka memutuskan untuk membeli produk tersebut dalam jumlah yang banyak.
- Pengaruh kondisi emosi antar individu: Hal ini terjadi saat kondisi emosi seseorang, turut mempengaruhi emosi orang lain, dan seterusnya, sehingga menimbulkan efek snowball. Akibatnya, perilaku panic buying tidak dapat terhindarkan.
- Perasaan tidak mampu mengelola stress: Kondisi ini merupakan salah satu faktor terbesar yang membuat beberapa individu melakukan perilaku panic buying. Perilaku membeli dan menimbun produk dalam jumlah yang banyak merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh mereka untuk melepaskan stress yang dirasakan.
- Kondisi demografis: Karakteristik demografis seperti usia, gender, dan latar belakang pendidikan memiliki pengaruh yang besar terhadap munculnya perilaku panic buying.
Namun, di tengah-tengah fenomena ini, ada sebagian masyarakat yang tidak menunjukkan perilaku panic buying di masa pandemi Covid, mengapa hal tersebut dapat terjadi?
Ternyata, individu yang memusatkan fokus perhatiannya pada apa yang terjadi di "masa sekarang" atau present moment, serta individu yang optimis dan memiliki ekspektasi yang positif terhadap "masa depan", memiliki kecenderungan yang jauh lebih rendah untuk menampilkan perilaku panic buying.
Pentingnya menjaga fokus kita terhadap apa yang terjadi saat ini, kemampuan untuk berpikir positif, optimis, mengelola emosi, serta berempati terhadap orang-orang yang lebih membutuhkan, merupakan kunci agar perilaku panic buying tidak semakin meningkat di masyarakat.
Ditulis oleh:
Jane Cindy Linardi, M.Psi, Psikolog.
Daftar Refrensi:
Arafat, S. M. Y., et al. (2020). Psychological Underpinning of Panic Buying During Pandemic Covid-19. Psychiatry Research, issue 289.
Aquino, S, D., et al. (2020). Validity Evidences of The Buying Impulsiveness Scale in Brazilian Context. Psico-USF, vol. 25, issue 1, pp. 15-25.
Eva, N., et al. (2020). Panic Buying Behavior During The Covid-19 Outbreak: A Cross Cultural Psychological Study. International Confrence of Psychology. KnE Social Sciences, pages 80-87.
Kaur, A., Malik, G. (2020). Understanding The Psychology Behind Panic Buying: A Grounded Theory Approach. Journal of Sage.
Shadiqi, M. A., et al. (2020). Panic Buying Pada Pandemi Covid-19: Telaah Literatur Dari Perspektif Psikologi. Jurnal Psikologi Sosial, issue 18.
Yuen, K. F., et al. (2020). The Psychological Causes of Panic Buying Following a Health Crisis. International Journal of Environmental Research and Public Health, volume 17(10).
No comments:
Post a Comment