Sunday, March 26, 2023

Regulasi Emosi Pada Anak

 Regulasi emosi adalah suatu rangkaian proses intrinsik dan ekstrinsik pada diri seseorang yang bertujuan untuk memonitor, mengevaluasi, dan memodifikasi reaksi emosi yang terjadi (Sabatier, el al., 2017).

Secara umum, terdapat dua faktor yang mempengaruhi perkembangan regulasi emosi yaitu:

a. Pengaruh neurobiologis: regulasi emosi berperan untuk menstabilkan kondisi tubuh, setelah terjadi peningkatan kerja internal tubuh yang disebabkan karena emosi, misalnya: jantung berdebar, suhu tubuh yang meningkat, dsb. Regulasi emosi dapat tercapai ketika terjadi sinkronisasi antara sistem, termasuk: proses atensi yang memungkinkan kita untuk fokus pada stimulus yang penting, proses kognitif untuk menilai situasi, proses motorik untuk menyiapkan tubuh berespon secara tepat.

b. Pengaruh lingkungan: dalam beberapa studi, disebutkan bahwa lingkungan, khususnya keluarga memegang peranan yang sangat penting dalam perkembangan regulasi emosi seseorang. Keluarga yang hangat, meningkatkan kemungkinan terjadinya ekspresi afeksi yang luwes dan positif antar anggota keluarga. Selain itu, keluarga yang hangat juga dapat menampilkan contoh yang positif tentang bagaimana menerapkan regulasi emosi yang tepat.

Ildiz & Ayhan (2021) menjabarkan mengenai perkembangan regulasi emosi pada anak berdasarkan tahapan usia. Penulis hanya akan membahas dua tahapan pada usia anak, yaitu:

1. infancy (usia 0 - 2 tahun): pada tahapan usia ini, orang tua atau pengasuh utama anak berperan sangat penting dalam membantu anak menenangkan diri, memenuhi kebutuhan afeksi anak. Orang tua dapat menenangkan anak yang sedang merasakan emosi marah dengan cara memeluk, memberikan kecupan, berbicara dengan lembut.

2. preschool (usia 2 - 6 tahun): pada tahap ini, anak mulai dapat mengekspresikan emosinya melalui kata-kata dibandingkan mengekspresikannya dalam bentuk perilaku. Guru mulai memiliki peran penting dalam membantu memberikan model positif kepada anak tentang bagaimana mengekspresikan emosinya dengan tepat dan dapat diterima oleh lingkungan sosial. Pada fase ini, penting agar anak mengetahui nama dari macam-macam emosi dan situasi yang dapat menyebabkan emosi tersebut muncul. Misalnya: anak merasa senang saat bermain dengan teman, anak merasa marah saat mainannya direbut oleh teman.

Regulasi emosi penting diajarkan kepada anak sejak dini, agar anak mengetahui emosi yang ia rasakan, memahami perubahan yang muncul pada tubuhnya saat emosi muncul, mengenali situasi apa yang dapat memunculkan emosi, dan bagaimana cara dia menenangkan dirinya. Banyak orang tua beranggapan bahwa dengan membantu anak meregulasi emosinya, maka emosi yang dirasakan oleh anak dapat cepat mereda. Padahal, regulasi emosi sendri bertujuan bukan untuk mempercepat redanya emosi anak.

Mengajarkan anak bagaimana meregulasi emosi adalah sebuah proses panjang yang dimulai sejak anak usia dini, penting juga bagi orang tua untuk meregulasi emosinya terlebih dahulu. Pastikan orang tua dalam kondisi yang tenang untuk menghadapi anak yang tengah merasakan emosi yang besar. 

Beberapa langkah regulasi emosi pada anak yang dapat diterapkan oleh orang tua:

1. Menamai emosi yang sedang anak rasakan: "Kakak sedang marah."

2. Memberitahu penyebab emosi tersebut muncul: "Kakak sedang marah, karena kesulitan membuka botol."

3. Menunjukkan empati: "Kakak sedang marah, karena kesulitan membuka botol. Mama tahu rasanya pasti kesal sekali ya."

4. Ajak anak untuk menenangkan diri: "Kakak sedang marah, karena kesulitan membuka botol. Mama tahu rasanya pasti kesal sekali ya. Kita tenangkan diri dulu yuk!" Pada proses ini, pastikan orang tua tetap mendampingi anak, kemudian ajak anak untuk menarik nafas panjang, menahan beberapa detik, kemudian buang nafas perlahan dari mulut. 

5. Setelah anak tenang, ajak anak untuk berdiskusi tentang apa yang ia dapat lakukan jika menemui situasi yang sama di kemudian hari. 

Langkah-langkah regulasi emosi tersebut dapat dilakukan pada berbagai macam emosi yang ditampilkan anak, seperti sedih, kecewa, cemas, dan lain sebagainya.

Ditulis Oleh: Jane Cindy Linardi, M.Psi., Psikolog.

Sumber Referensi:

Ildiz, I., Ayhan, A. (2021). Emotion Regulation in Children. Recent studies in health science (p. 170 - 185). St. Kliment Ohridski University Press.

Sabatier, C., Cervantes, D., Torres, M., Rios, O., Sanudo, J. (2017). Emotion Regulation in Children and Adolescents: Concept, Processes, and Influences. Psicologia Desde El Caribe, Vol. 34, No 1, pp. 75-90. Universidad del Norte, Colombia.


Wednesday, March 15, 2023

Beda Anak Aktif Dengan Anak yang Memiliki Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas

Secara umum, banyak orang tua yang masih kesulitan membedakan apakah anaknya itu aktif, atau memiliki gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD). Sebab, anak dengan ADHD juga menunjukkan keaktifan yang luar biasa dalam kesehariannya, sehingga banyak orang tua yang mengira bahwa anaknya memang anak yang aktif. 

Sebelum masuk ke pembahasan mengenai perbedaan antara kedua hal tersebut, penulis ingin membahas terlebih dahulu definisi dari anak yang aktif. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, aktif adalah suatu kondisi dinamis atau bertenaga. Anak yang aktif berarti anak yang menyukai kegiatan-kegiatan yang dinamis dan mengeluarkan tenaga dalam kesehariannya. Misal: anak yang aktif, senang melakukan aktivitas seperti bersepeda, bermain bola, bermain basket, atau menekuni bidang olahraga lainnya. 

Sedangkan, gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas, atau yang lebih umum dikenal sebagai ADHD, adalah suatu kondisi gangguan neurodevelopmental, yang menyebabkan seorang anak mengalami kesulitan untuk mempertahankan fokus atensi, menunjukkan hiperaktivitas, dan menampilkan perilaku yang impulsif (Hoseini, Ajilian, Khademi, Moghaddam, & Saeidi, 2014).

Berdasarkan kedua definisi tersebut, kita dapat melihat perbedaan mendasarnya. Anak yang aktif, menyukai kegiatan yang dinamis dan banyak mengeluarkan tenaga dalam aktivitas kesehariannya. Sedangkan, anak dengan ADHD meskipun terkesan sama-sama aktif, namun mengalami hambatan dalam hal fokus atensi dan cenderung menampilkan perilaku impulsif.

Berikut adalah beberapa simtom yang dialami oleh anak dengan gangguan ADHD, berdasarkan DSM-V (2013):

- Simtom inattentive: sulit mempertahankan fokus atensi, terkesan mengabaikan dan tidak merespon ketika diajak bicara secara langsung, sulit mengikuti instruksi dan umumnya sulit menuntaskan suatu tugas, sulit mengorganisir tugas dan aktivitas, menghindari dan cenderung tidak menyukai tugas-tugas yang membutuhkan usaha mental, kerap kehilangan barang-barang yang dibawa, sangat mudah terdistrak, dan cenderung pelupa dalam aktivitas sehari-hari.

- Simtom hiperaktivitas: gelisah saat duduk cenderung menggerak-gerakan tangan dan kaki, sulit duduk tenang di situasi yang mengharuskannya untuk duduk, kerap berlari atau memanjat di situasi yang tidak sesuai, sulit untuk bermain atau belajar dengan tenang, banyak bicara, terkesan tidak pernah lelah karena terus aktif bergerak.

- Simtom impulsivitas: memberikan respon jawaban segera sebelum lawan bicaranya selesai bertanya atau berbicara, sulit menunggu giliran seperti mengantri dan berbaris, kerap memotong pembicaraan orang lain.

Penting diperhatikan bahwa, orang tua sangat tidak disarankan untuk melakukan self diagnosed terhadap anaknya hanya karena merasa ada beberapa kesamaan yang ditampilkan oleh anaknya dengan penjabaran simtom ADHD di atas. Orang tua disarankan untuk memeriksakan anaknya kepada psikolog klinis anak untuk mendapatkan pemeriksaan yang profesional. 

Secara garis besar, anak yang aktif mampu menempatkan dirinya, artinya ketika ia sedang belajar di kelas, maka ia dapat mengikutinya dengan tenang, fokus, dan dapat mengikuti seluruh peraturan yang diberikan guru. Keaktifannya tersebut tidak mengganggu kegiatan belajar dan fungsi kesehariannya. Sedangkan, anak ADHD dengan hiperaktivitasnya mengalami kesulitan untuk mempertahankan fokus atensi, sulit untuk duduk dengan tenang selama belajar, ketahanan belajarnya pendek, dan cenderung sulit mengikuti peraturan karena perilaku impulsifnya. Intinya, anak dengan ADHD mengalami kendala dalam kegiatan belajar dan hal tersebut mengganggu fungsi kesehariannya.

Jangan ragu untuk memeriksakan anak ke psikolog klinis anak. Jika anak mengalami gangguan ADHD, semakin cepat ia ditangani, maka akan semakin baik prognosisnya. Sebab, individu yang memiliki kondisi ADHD yang tidak ditangani di masa kecilnya, meningkatkan kemungkinan yang lebih besar untuk mengalami depresi, kecemasan, serta penyalahgunaan obat dan zat terlarang di usia dewasa (Watters, Adamis, McNicholas, & Gavin, 2017).


Ditulis Oleh: Jane Cindy Linardi, M.Psi., Psikolog.

Sumber Referensi:

Hoseini, B., Ajilian, M., Moghaddam, H., Khademi, G., & Saeidi, M. (2014). Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) in Children: A Short Review and Literature. International Journal of Pediatrics, Vol. 2, N. 4-3, Serial No. 12.

Watters, C., Adamis, D., McNicholas, F., & Gavin, B. (2017). The Impact of Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) in Adulthood: A Qualitative Study. Irish Journal of Psychological Medicine, p. 1-7.

 

Regulasi Emosi Pada Anak

 Regulasi emosi adalah suatu rangkaian proses intrinsik dan ekstrinsik pada diri seseorang yang bertujuan untuk memonitor, mengevaluasi, dan...