Wednesday, June 30, 2021

Bahaya Penggunaan Gawai Berlebihan Pada Anak

Pada era digital seperti sekarang ini, tidak dapat dipungkiri bahwa penggunaan gawai sudah menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari. Baik bagi individu dewasa, maupun yang masih berusia anak-anak. Bahkan, anak-anak di bawah usia lima tahun (balita) juga sudah banyak yang menggunakan gawai dalam kesehariannya (Fajariyah, 2018).

Banyak orang tua yang belum menyadari efek buruk apa yang mungkin dialami oleh anak-anak mereka jika menggunakan gawai secara berlebihan dan tanpa pengawasan dari orang tua. Berikut adalah beberapa dampak buruk yang dapat terjadi:

  • Kesehatan Fisik: Penggunaan gawai secara berlebihan, dapat meningkatkan resiko obesitas. Artinya, terdapat peningkatan angka BMI atau Body Mass Index (Skouteris & Aquila, 2012). Bahkan, sebuah studi menunjukkan bahwa angka BMI anak usia 2 tahun yang terlalu sering menggunakan gawai, mengalami peningkatan setiap satu jam selama satu minggu. 
  •  Waktu Tidur: Terjadinya peningkatan dalam durasi menonton televisi, penggunaan komputer, penggunaan handphone di kamar tidur anak, khususnya pada anak dalam range usia 0 sampai 5 tahun, menunjukkan bahwa ada penurunan durasi tidur pada anak (Cespedes, Gillman, & Taveras, 2014). Untuk anak-anak yang berusia satu tahun, mereka yang terpapar dengan gawai pada waktu sore hari, menunjukkan waktu tidur yang lebih singkat (pendek) di malam harinya, dibandingkan dengan anak usia satu tahun yang tidak terpapar gawai (Vijakkhana, Pruksananonda, & Chonchaiya, 2015).
  • Perkembangan Anak: Sebuah penelitian menunjukkan bahwa penggunaan gawai yang berlebihan pada anak usia dini, yaitu anak yang berada dalam range usia 0 sampai 5 tahun, menunjukkan dampak yang signifikan pada aspek perkembangannya. Beberapa aspek perkembangan yang ikut terdampak adalah perkembangan motorik, bahasa, kognitif, sosial, dan regulasi emosi (Tomopoulos, Dreyer, & Berkule, 2010). 

 Lalu, bagaimanakah sebaiknya orang tua memberikan batasan penggunaan gawai pada anak? Pada usia berapakah anak baru diperbolehkan menggunakan gawai? Berikut adalah batasan penggunaan gawai yang disarankan (American Academy of Pediatrics, 2016).

  • Usia 0 sampai 2 tahun: tidak disarankan menggunakan gawai apa pun
  • Usia 3 sampai 5 tahun: maksimal 10 menit per hari
  • Usia 5 sampai 7 tahun: maksimal 20 menit per hari
  • Usia 7 sampai 9 tahun: maksimal 30 menit per hari
  • Usia 9 sampai 12 tahun: maksimal 1 jam per hari
  • Usia 12 sampai 15 tahun: maksimal 2 jam per hari

 Namun, di era pandemi seperti sekarang ini, di kala pembelajaran jarak jauh (PJJ) berupa online learning masih berjalan, maka terdapat toleransi penggunaan gawai yang telah dijabarkan di atas. 

Anak-anak boleh menggunakan waktunya untuk bermain gawai (sesuai petunjuk batasan penggunaan yang telah dijabarkan di atas), di luar dari waktu online learning dan mengerjakan tugasnya secara online. 

Selain itu, orang tua juga perlu memahami beberapa tips praktis penggunaan gawai yang tepat pada anak (Jago, Stamatakis, & Gama, 2012). Berikut adalah penjabarannya:

  • Hindari penggunaan gawai pada anak usia 0 sampai 2 tahun, kecuali untuk melakukan video call yaitu kegiatan yang bersifat interaksi dua arah dengan orang lain secara online. Namun, orang tua tetap perlu mendampingi anak dalam melakukan kegiatan tersebut.
  • Untuk anak berusia 3 tahun ke atas, orang tua perlu mendampingi anak dalam menggunakan gawai. Pastikan ada interaksi secara dua arah antara anak dengan orang tua saat anak menggunakan gawai. Orang tua dapat mengajukan pertanyaan atau membahas topik sesuai dengan tayangan yang sedang dilihat anak pada gawainya.
  • Matikan televisi dan gawai lainnya pada saat sedang tidak digunakan.
  • Hindari pemberian gawai dengan tujuan untuk membuat anak tenang atau tidak rewel, sebab hal tersebut dapat berdampak pada kemampuan anak dalam meregulasi emosinya.
  • Pastikan pada waktu-waktu tertentu seperti waktu tidur, waktu makan, dan waktu bermain dengan orang tua, anak terbebas dari gawai. Selain itu, orang tua pun perlu menyimpan gawainya terlebih dahulu, sampai kegiatan tersebut tuntas.
  •  Sebaiknya, anak sudah tidak menggunakan gawainya lagi minimal satu jam sebelum waktu tidurnya.
  • Pastikan, orang tua memonitor konten media yang akan dikonsumsi oleh anak, termasuk aplikasi yang diunduh oleh anak. Lakukan monitoring terlebih dahulu dengan membuka aplikasi dan melihat konten-konten yang ada di dalamnya, sebelum memberikan izin kepada anak untuk mengkonsumsinya.
 

"Gawai memang tidak selalu buruk untuk anak. Dengan gawai, anak dapat mengakses berbagai ilmu pengetahuan baru, yang tentu dapat menstimulasi perkembangan kogntifinya. Namun, perlu diingat bahwa anak juga harus diberikan batasan-batasan dalam penggunaannya. Disini lah peran orang tua dalam mendampingi anak menjadi sangat penting dan krusial."


Ditulis oleh:

Jane Cindy Linardi, M.Psi, Psikolog.




Tuesday, June 29, 2021

Psikolog & Psikiater, Apa Bedanya?

 Secara umum, banyak orang yang masih keliru dengan kedua profesi ini, termasuk beberapa klien saya yang juga bertanya, psikolog dan psikiater apa sih perbedaannya? 

Mari kita pahami dulu perbedaan ilmu yang didalami:

Psikolog: mendalami ilmu yang mempelajari pola pikir, tingkah laku, dan emosi manusia (Gunarsa, 1978)

Psikiater: mendalami ilmu tentang biologis tubuh, syaraf, otak, dan masalah gangguan kejiwaan serta mental (Kaplan & Sadock, 2010)

Sedangkan, untuk latar belakang pendidikannya:

Psikolog: profesi dengan latar belakang pendidikan sarjana psikologi (S.Psi), yang kemudian melanjutkan pendidikan magister profesi psikolog (M.Psi) - mengacu pada definisi dari Ikatan Psikolog Indonesia

Psikiater: profesi dengan latar belakang pendidikan sarjana kedokteran (dr.), yang kemudian melanjutkan pendidikan spesialisasi kejiwaan (Sp. KJ) - mengacu pada definisi dari Ikatan Dokter Indonesia

Hal yang juga tidak kalah penting mengenai perbedaan yang paling signifikan adalah sebagai berikut:

Psikolog tidak dapat memberikan farmakoterapi (terapi menggunakan obat-obatan). Sedangkan, psikiater dapat memberikan farmakoterapi, karena latar belakang pendidikannya yang adalah seorang dokter.

Lalu, pertanyaannya, masalah apa saja yang ditangani oleh masing-masing profesi? Berikut adalah beberapa contohnya:

Psikolog (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, 2013)

- Gangguan perkembangan seperti autism spectrum disorder, attention deficit hyperactive disorder.

- Learning disorder seperti disleksia, disgrafia, dan diskalkulia 

- Masalah perilaku seperti conduct disorder dan oppositional defiant disorder 

- Gangguan pola makan seperti anorexia dan bulimia nervosa

Psikiater (Maslim, 1993)

-  Depresi; Schizophrenia

- Gangguan kepribadian seperti: bipolar disorder, borderline personality disorder, antisocial personality disorder

- Gangguan kecemasan seperti: general anxiety disorder, obsessive compulsive disorder (OCD)

- Gangguan tidur seperti: insomnia, sleep apnea, narcolepsy, restless legs syndrome 

 Selain itu, terdapat pula perbedaan dalam penggunaan istilah untuk menyebut orang yang ditangani. Orang yang ditangani oleh psikolog disebut dengan "klien", sedangkan orang yang ditangani oleh psikiater disebut dengan "pasien"

Meskipun terdapat perbedaan pada latar belakang pendidikan dan ilmu yang didalami, psikolog dan psikiater dapat bekerja sama dalam praktiknya untuk menolong orang yang sama. Misalnya: orang dengan gangguan kecemasan, yang membuat ia kesulitan untuk tidur dan sulit untuk berkonsentrasi dalam menjalani aktivitas sehari-harinya. Maka, orang tersebut bisa mendapatkan penanganan dari psikolog berupa konseling dan psikoterapi seperti CBT (cognitive behavior therapy), dan bisa mendapatkan penanganan dari psikiater berupa farmakoterapi (menggunakan obat-obatan) untuk membantu menangani masalah tidur dan kesulitannya dalam berkonsentrasi.

Kemudian, hal yang juga paling sering ditanyakan oleh orang-orang adalah, "kapan saya harus ke psikolog?" dan "kapan saya harus ke psikiater?"

Kamu disarankan untuk konsultasi ke psikolog, jika: kamu merasa ada hal-hal yang sudah mengganggu fungsi keseharianmu. Misalnya menganggu aktivitas belajarmu di sekolah, mengganggu aktivitas sehari-hari termasuk dalam hal bina diri atau self care seperti makan, mandi, dan lain-lain. Serta, mengganggu aktivitas kuliah, aktivitas kerja, dan mengganggu interaksi sosialmu dengan orang lain. 

Sedangkan, kamu disarankan untuk konsultasi ke psikiater, jika: mengalami masalah yang relatif membutuhkan pengobatan seperti depresi, ketergantungan terhadap obat-obatan dan zat terlarang, mengalami bipolar, OCD (obssesive compulsive disorder), dan schizophrenia. 

Namun, tidak menutup kemungkinan jika kamu awalnya datang untuk konsultasi ke psikolog, dan berdasarkan hasil pemeriksaan, kamu disarankan juga untuk berkonsultasi ke psikiater untuk mendapatkan penanganan lanjutan berupa farmakoterapi. Demikian pula sebaliknya.

Satu hal juga yang tidak kalah penting, saat kamu berkonsultasi ke psikolog atau pun psikiater, kamu butuh berproses dan berkomitmen untuk melakukan konsultasi secara rutin dan konsisten. Masalahmu tidak akan "sembuh" atau "hilang" hanya dengan mengikuti 1 sampai 2 sesi konsultasi saja. Mungkin, kamu perlu beberapa kali sesi, misalnya: 10 sesi pertemuan, atau 15 sesi pertemuan (tergantung dari permasalahan yang kamu hadapi). Berporses dalam penyembuhan itu tidak ada yang instan. Kamu juga harus berkomitmen untuk melakukan tugas-tugas yang biasanya akan diberikan oleh psikolog dan psikiater, misalnya: melakukan journaling harian, mencatat kondisi emosi secara rutin, dan lain sebagainya.

Jadi, jangan heran ya ketika kamu hanya berkonsultasi sebanyak 1 sampai 2 sesi, dan kamu tidak melakukan saran-saran pengobatan dari psikiater, atau tidak melakukan tugas-tugas yang disarankan oleh psikolog, lalu kamu merasa "saya sudah konsultasi ke psikolog dan psikiater, tapi saya merasa tidak ada perubahan apa-apa, percuma saja konsultasi"

Ingat, psikolog dan psikiater itu hanya sebagai "pemandu", sedangkan kamu lah yang harus mengambil langkah dan berjalan sendiri. Inisiatif dan kemauannya harus dari kamu. 

Sama halnya seperti kamu berobat ke dokter karena sakit demam. Kalau pengobatan dan saran-saran dari dokter tidak kamu lakukan, kamu akan tetap mengalami demam, meskipun sudah pergi ke sepuluh dokter sekali pun. 

"Jangan takut untuk berkonsultasi ke psikolog dan psikiater ya, sebab kesehatan mental itu penting, dan kedua profesi tersebutlah yang dapat membantu meningkatkan kualitas kesehatan mentalmu! "

 

 Ditulis oleh:

  Jane Cindy Linardi, M.Psi, Psikolog.





Regulasi Emosi Pada Anak

 Regulasi emosi adalah suatu rangkaian proses intrinsik dan ekstrinsik pada diri seseorang yang bertujuan untuk memonitor, mengevaluasi, dan...