Monday, February 27, 2023

Aktivitas yang Dapat Meningkatkan Kesehatan Mental

Rutinitas sehari-hari sering kali menyita banyak waktu dan pikiran. Beberapa individu, bahkan mengalami kesulitan untuk membagi waktu antara bekerja, mengurus keperluan rumah tangga, mengurus diri sendiri, dan mengurus anak. Akibatnya, terjadi ketidakseimbangan aktivitas harian yang dapat mengganggu kesehatan mental. Banyak individu yang tidak menyadari bahwa kesehatan mental yang tidak baik, dapat memicu terjadinya penurunan produktivitas, timbulnya stress, dan burn out (Rock, et al., 2012).

Sejak dahulu, banyak peneliti telah menemukan bahwa keseimbangan nutrisi sangat penting bagi kesehatan fisik individu. Namun, belum banyak peneliti yang menggali tentang pentingnya keseimbangan aktivitas untuk kesehatan mental. Akhirnya, Siegel dan Rock (2012) meneliti hal tersebut, dan mereka merumuskannya sebagai konsep healthy mind platter

Dalam konsep healthy mind platter, terdapat tujuh aktivitas yang dapat dilakukan dalam rutinitas untuk meningkatkan kesehatan pikiran dan mental. Ketujuh aktivitas tsb adalah:

1. Sleep Time: Aktivitas tidur sangat penting untuk meningkatkan ketajaman memori, menyegarkan tubuh dan pikiran. Tidur juga penting untuk imunitas tubuh (Taylor, Lichstein, & Durrence, 2003). Beberapa penelitian bahkan menekankan bahwa tidur penting untuk kesehatan otak manusia.

2. Play Time: Aktivitas bermain (mencari kesenangan) ternyata sama pentingnya dengan aktivitas keseharian lainnya, seperti: makan dan tidur. Beberapa studi, menemukan bahwa bermain merupakan hal yang sangat penting bagi perkembangan anak, juga penting bagi kreativitas dan proses belajar individu dewasa. Bermain dapat meningkatkan hormon dopamin, dan memunculkan rasa senang.

3. Down Time: Waktu untuk fokus dengan apa yang terjadi di dalam momen (here and now), tanpa merencanakan suatu aktivitas. Biarkan aktivitas terjadi secara spontan, umumnya down time terjadi secara spontan di saat kita menunggu transisi dari satu aktivitas ke aktivitas lain.

4. Time In: Waktu untuk berefleksi, dapat dilakukan dengan menulis journal harian maupun bermeditasi.

5. Connecting Time: Menjalin koneksi dengan orang-orang terdekat, seperti keluarga, teman-teman, dan saudara. Dengan menjalin interaksi dengan orang terdekat, kita memenuhi kebutuhan kita akan dukungan sosial. 

6. Physical Time: Olahraga terbukti dapat meningkatkan kesehatan otak dan menjaga plastisitas otak. Dengan berolahraga, tubuh memproduksi hormon endorphin, sehingga suasana hati menjadi lebih baik dan tubuh secara otomatis menurunkan kadar stress.

7. Focus Time: Memusatkan fokus terhadap satu pekerjaan dalam satu waktu, dan dapat memicu munculnya sense of mastery (rasa berhasil menguasai atau mencapai sesuatu).

Ketujuh aktivitas tersebut disarankan untuk dilakukan secara seimbang dalam rutinitas harian, untuk meningkatkan kesehatan pikiran dan mental. 

Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Kita dapat berperan aktif untuk mengusahakan dan menjaga kesehatan mental kita.


Ditulis Oleh: Jane Cindy, M.Psi., Psikolog.

Sumber Referensi:

Rock, D., Siegel. D., Poelmans, S., & Payne, J. (2012). The Healthy Mind Platter. Neuro Leadership Journal. Issue Four.

Taylor, D. J., Lichstein, K. L., & Durrence, H. H. (2003). Insomnia As a Health Risk Factor. Behavioral Sleep Medicine, 1, 227-247.

 

 

Thursday, February 9, 2023

Pentingnya Pendidikan Seks Sejak Dini

Beberapa masyarakat Indonesia masih memiliki perspektif negatif tentang pendidikan seks, mereka beranggapan bahwa pendidikan seks berarti mengajarkan anak untuk melakukan hubungan seksual. Hal ini membuat mereka merasa enggan untuk membahas topik yang berkaitan dengan seks kepada anak-anak mereka. Padahal, pendidikan seks merupakan proses pemberian informasi terkait perkembangan tubuh, seks, seksualitas, serta kualitas hubungan, yang tentunya diberikan sesuai dengan tahapan usia anak (Bridges & Hauser, 2014).

Pendidikan seks merupakan hal yang penting karena sangat mempengaruhi keputusan anak untuk menghindari perilaku seksual yang beresiko saat ia memasuki fase usia remaja. Dalam sebuah studi, ditemukan bahwa orang tua yang memberikan pendidikan seks sejak dini, akan menghindarkan anak dari perilaku seksual yang beresiko, enam kali lipat lebih tinggi daripada orang tua yang tidak memberikan pendidikan seks kepada anaknya (Susanti, Falefi, & Purnama, 2021). Ketika remaja dapat menampilkan perilaku seksual yang tidak beresiko, mereka juga akan menurunkan kemungkinan tertular penyakit menular seksual. 

Pendidikan seks berdasarkan usia, menurut Silverberg & Smyth (2015) adalah sebagai berikut:

- Usia 0 sampai 2 tahun: Orang tua dapat mengenalkan nama-nama organ intim anak menggunakan istilah yang tepat, seperti penis, testis, vagina, vulva. Hindari menggunakan istilah-istilah yang tidak resmi, yang umumnya sering digunakan dalam percakapan sehari-hari. Pastikan, orang tua menggunakan nada suara dan ekspresi wajah yang netral, saat menyebutkan nama organ intim anak, seperti halnya saat orang tua menyebut nama anggota tubuh lain seperti kaki, pipi, hidung, dsb.

- Usia 2 tahun - 5 tahun: Orang tua perlu mengajarkan mengenai konsep batasan, khususnya yang berkaitan dengan sentuhan dari orang lain, maupun menyentuh orang lain. Untuk mempermudah, orang tua dapat menggunakan istilah good touch vs bad touch. Beberapa contoh good touch adalah bersalaman saat berkenalan, tos (high five), menepuk pundak atau punggung untuk memanggil teman. Sedangkan, bad touch adalah sentuhan, gesekan, atau genggaman ke area tubuh yang private seperti dada, bokong, paha, penis, vagina, dsb. Selain itu, penting juga untuk mengajarkan anak agar mereka berpakaian di ruang tertutup dalam setting sosial mana pun (baik di rumahnya sendiri, rumah saudara, tempat umum, dsb).  

- Usia 6 tahun - 8 tahun: Orang tua dapat mengajarkan peran gender kepada anak, yaitu peran ibu sebagai wanita, dan peran ayah sebagai pria. Pada tahapan usia ini, orang tua juga perlu mengingatkan anak mengenai pentingnya bersikap hati-hati saat menggunakan internet. Beri peraturan mengenai batasan saat berbicara dengan orang asing baik secara daring maupun luring. Ingatkan juga kepada anak untuk berhati-hati dalam mengunggah foto secara daring (khususnya jika anak sudah menggunakan sosial media, namun tentunya sosial media belum disarankan untuk digunakan oleh anak pada tahapan usia ini). 

- Usia 9 tahun - 12 tahun: Orang tua mulai mempersiapkan anak untuk memasuki tahapan pubertas. Edukasi mengenai mimpi basah dan menstruasi. Ajarkan juga kepada anak bagaimana menjaga kebersihan organ intim mereka, terlebih lagi kepada anak perempuan saat mereka sedang menstruasi. Perkenalkan juga pada pembalut, tampon, atau menstrual cup (namun di Indonesia, umumnya masih menggunakan pembalut khususnya pada anak perempuan yang belum menikah). Contohkan bagaimana cara penggunaannya. Selain itu, infokan juga kepada anak terkait perubahan fisik yang merupakan bagian dari tahap pubertas.

- Usia 13 tahun ke atas: Pada tahapan ini, orang tua berperan sebagai pendamping anak. Berikan edukasi mengenai penyakit menular seksual dan resiko hamil di usia muda, sebagai akibat dari melakukan hubungan seks bebas (free sex). Penting juga bagi orang tua untuk bersikap terbuka terhadap pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan diajukan anak terkait seksualitas. Selain itu, orang tua juga perlu mengingatkan tentang pentingnya consent atau persetujuan terkait dengan aktivitas yang dilakukan oleh anak dengan pasangannya (pacar), seperti misal aktivitas memeluk, mencium, dsb. 

“Pendidikan seks adalah suatu proses panjang, yang dilakukan sesuai dengan tahapan usia anak. Orang tua yang terbuka, akan membuat anak merasa nyaman untuk bertanya atau berdiskusi terkait topik seksualitas. Hal ini tentulah lebih baik, dibandingkan orang tua yang tertutup sehingga membuat anak enggan bertanya, dan akhirnya mencari informasi yang belum tentu benar dari orang lain atau internet.”

 

Ditulis Oleh: Jane Cindy, M.Psi., Psikolog.

Daftar Referensi:

Bridges, E., & Hauser, D. (2014). Sexuality Ecucation: Advocates for Youth. https://www.advocatesforyouth.org/resources/fact-sheets/sexuality-education-2/

Susanti, N., Falefi, R., & Purnama, T. (2021). The Relationship Between Sex Education and Sexual Behavior in Adolescents. Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan. Vol 21 No 2, p. 110-116.

Silverberg, C., & Smyth, F. (2015). Sex is a Funny Word: A Book About Bodies , Feelings, and You. Seven Stories Press.

 


Regulasi Emosi Pada Anak

 Regulasi emosi adalah suatu rangkaian proses intrinsik dan ekstrinsik pada diri seseorang yang bertujuan untuk memonitor, mengevaluasi, dan...