Wednesday, November 23, 2022

Pentingnya Kesejahteraan Psikologis Pada Individu yang Baru Menjalani Peran Sebagai Ibu

Menjadi ibu baru, tentu bukanlah hal yang mudah untuk dijalani. Banyaknya perubahan yang dirasakan, baik itu perubahan fisik, perubahan pola hidup, perubahan tanggung jawab, dan perubahan peran. Sehingga, aspek kesejahteraan psikologi dari seorang ibu baru tentu menjadi hal yang penting. Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologi sebagai kondisi yang membuat individu memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain, memiliki tujuan hidup, dan membuat hidupnya lebih bermakna dengan mengembangkan dirinya.

Kesejahteraan psikologi bukan terbatas pada hidup yang bebas dari kondisi mental yang negatif seperti kecemasan, stress, dan lain sebagainya. Lebih dari pada itu, kesejahteraan psikologi meliputi enam aspek (Hidalgo, 2010) yaitu: 

      1. Penerimaan Diri: Pendapat positif seseorang akan dirinya sendiri berdasarkan penilaian pribadinya. Kondisi penerimaan diri ini pengertiannya spesifik dalam konteks kesejahteraan psikologi.

    2. Hubungan Positif Dengan Orang Lain: Individu dengan kesejahteraan psikologi, memiliki kemampuan untuk membina relasi interpersonal yang positif atas dasar rasa saling percaya dengan orang lain.

    3. Otonomi: Kemampuan seseorang untuk menjalani keyakinan pribadinya, meskipun hal tersebut bertentangan dengan hal yang konvensional.

     4. Penguasaan Lingkungan: ini berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk menguasai lingkungan sekitarnya.

    5. Tujuan Dalam Hidup: Kemampuan individu untuk menemukan makna dan menemukan tujuan hidupnya.

   6. Pertumbuhan Personal: Kemampuan individu untuk menyadari potensi dirinya dan untuk mengembangkan potensi dirinya yang baru.

Dari keenam aspek kesejahteraan psikologi, penulis ingin berfokus tentang bagaimana cara memenuhi keenam aspek tersebut. Tentunya bukan hanya ibu sendiri yang berjuang untuk memenuhi semuanya, namun pentingnya peran suami dan keluarga lain untuk membantu. Aspek yang paling sulit untuk dijalani adalah penerimaan diri. Banyak ibu baru yang merasa sulit untuk menerima perubahan fisik yang dialami pasca melahirkan. Disinilah peran dan dukungan suami serta keluarga lain penting untuk dihadirkan. Hindari kalimat-kalimat negatif tentang perubahan fisik ibu, selain itu penting juga untuk tidak segera menuntut kondisi fisik ibu untuk kembali seperti sebelum memiliki anak. Suami juga dapat berperan aktif dengan membantu menyiapkan makanan sehat untuk ibu konsumsi, serta memberikan apresiasi tentang betapa hebatnya ibu sudah berhasil melewati fase kehamilan dan melahirkan. Bantu ibu untuk melihat hal-hal positif dalam dirinya.

Agar ibu mampu menjalani hubungan yang positif dengan orang lain, maka bantu ibu untuk memiliki rasa percaya. Disilinah peran suami sebagai ayah penting untuk dilakukan. Bantu ibu untuk merawat bayi, seperti menggantikan popok, ikut membantu memberi susu pada bayi, memandikan bayi, atau membantu ibu untuk memberikan pijatan lembut ketika ibu menyusui atau memompa ASI. Orang tua ibu atau mertua ibu juga dapat berperan disini, membantu mengasuh bayi sehingga ibu dapat mengambil waktu untuk tidur dan istirahat yang cukup. Dengan adanya rasa kepercayaan ibu pada orang-orang penting di sekitarnya, maka hubungan positif akan tercipta.

Aspek otonomi pada individu yang baru menjalani peran sebagai ibu baru juga penting untuk dipenuhi. Pada aspek ini, orang tua atau mertua ibu penting untuk memberikan kepercayaan pada ibu untuk menjalani otonominya. Biarkan ibu yang memilih pola pengasuhan apa yang mau ia terapkan kepada anaknya, cara menyusui apa yang mau ia terapkan, menyusui langsungkah atau melalui botol dengan cara memompa ASI terlebih dahulu. Bagaimana ibu mau mengatur pola tidur bayi, apakah tidur dalam kamar yang sama, atau kamar yang terpisah. Ingat bahwa otonomi sepenuhnya ada di tangan ibu, orang tua ibu atau mertua hanya berperan untuk mendukung ibu saja.

Penguasaan lingkungan untuk ibu baru, lebih dimaksudkan agar ibu merasa ia memiliki kendali atas sekitarnya, seperti kendali akan lingkungan rumah, termasuk kepada bayinya. Ibu dalam keluarga ada dalam posisi utama yang mengatur kebutuhan rumah, anak, dan suaminya (Temiz, 2020).

Aspek tujuan hidup seorang ibu baru tentu berkaitan dengan membesarkan dan merawat anaknya agar memiliki pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Ibu dapat membekali dirinya dengan mempelajari ilmu-ilmu parenting yang dapat ia terapkan agar dapat menjalani tujuan hidupnya dengan optimal. Memiliki keterbukaan terhadap ilmu baru dapat membantu ibu dalam memenuhi tujuan ini.

Aspek terakhir yang tidak kalah penting adalah pertumbuhan personal. Penting bagi ibu juga untuk merawat dan mengembangkan dirinya sendiri. Temukan potensi diri ibu yang dapat dikembangkan. Ibu berhak untuk tetap menjalani mimpi dan cita-citanya, meskipun sekarang telah memiliki anak. Ibu dapat kembali berkarir atau memanfaatkan potensi diri ibu untuk mencapai aktualisasi diri.

 

 “Tidak mudah menjalani peran sebagai seorang ibu, hargailah dirimu, kamu sudah sangat hebat mampu bertahan sampai sejauh ini!”

 

Ditulis Oleh: Jane Cindy Linardi, M.Psi., Psikolog.

Daftar Referensi 

Hidalgo. J. L. T., Bravo, B, N., Martinez, I. P., Pretel, F. A (2010). Handbook: Psychology of Emotions, Motivations, and Action. In Inggrid E. Wells (Ed.), Psychological Well-Being (pp. 77-113). Nova Science Publisher, Inc. New York.

Ryff, C. D. (1989). Happiness is everything, or is it? explorations on the meaning of psychological well-being. Personality and Social Psychology, 57(6), 10691081. https://doi.org/10.1037/0022-3514.57.6.1069.

        Temiz, G. (2020). The Relationship Between Mother’s Psychological Wellbeing and Their Attitudes Towards Their Children. Psychology Research, January 2020, Vol 10, No. 1.

 

Monday, November 21, 2022

Siapkah Anak Saya Bersekolah?

Sebagian dari orang tua beranggapan bahwa anak yang telah menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak, otomatis akan langsung melanjutkan ke jenjang sekolah dasar. Jika hal ini dilakukan tanpa melihat kematangan dan kesiapan anak, maka dapat meningkatkan resiko anak mengalami kendala dalam kegiatan pembelajaran. Kesiapan sekolah di sini adalah kesiapan anak untuk memasuki sekolah formal, pada tingkat sekolah dasar. 

Secara spesifik, kesiapan sekolah meliputi beberapa aspek, seperti kesehatan fisik anak, kemampuan sosial, kematangan emosi, perkembangan bahasa dan kognitif, serta kemampuan komunikasi (Doherty, 2007).

 Lebih lanjut, Janus & Offord (200) menjabarkan bahwa hal yang mencakup dalam aspek kesehatan fisik anak adalah kemandirian fisik anak untuk melakukan aktifitas, termasuk keterampilan motorik kasar (berjalan, berlari, melompat) dan motorik halusnya (menulis, menggambar, mewarnai, menggunting). Kemampuan sosial juga tidak kalah penting dari kesiapan fisik. Anak diharapkan mampu menjalin interaksi dengan teman-teman sebaya dan dengan guru-guru di sekolahnya, serta memiliki kesiapan untuk mengeksplorasi lingkungan sekolahnya. 

Kematangan emosi anak memampukan anak untuk menunjukkan perilaku prososial dan menampilkan perilaku yang kooperatif terhadap peraturan sekolah. Sedangkan, perkembangan bahasa dan kognitif meliputi kemampuan literasi, daya ingat, dan kemampuan hitung dasar. 

Penulis menambahkan bahwa kemampuan kognitif yang perlu dimiliki anak untuk memasuki tingkat sekolah dasar adalah: (a) Mengenal warna, angka, bentuk, huruf; (b) Memahami instruksi, termasuk pertanyaan dan pernyataan verbal; (c) Mampu memberikan respon yang sesuai dengan instruksi guru; dan (d) Memahami konsep hitung dasar.

Aspek terakhir yang juga tidak kalah penting adalah kemampuan komunikasi anak, bagaimana anak mampu menyampaikan pikiran, perasaan, pendapat, dan ide-idenya.

Di sisi lain, Xie & Gan (2017) menambahkan bahwa kesiapan sekolah anak dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu keluarga (gaya pengasuhan orang tua), anak (kemampuan regulasi diri), dan sekolah. Bronfenbrenner dalam teorinya juga menyatakan bahwa faktor personal dari anak itu sendiri, serta lingkungan sosial terdekat anak merupakan faktor yang menunjang kesiapan sekolah anak.

Peran orang tua dalam hal mengasuh anak dinilai menjadi faktor yang mempengaruhi kesiapan anak. Orang tua yang menerapkan gaya pengasuhan yang hangat dan suportif, membuat anak menjadi mandiri dan siap untuk sekolah. Anak menjadi lebih siap untuk menghadapi situasi yang asing terutama pada periode awal sekolah dimulai. 

Selain faktor gaya pengasuhan orang tua, anak yang telah memiiliki kemampuan regulasi diri yang baik, akan mendukung kemampuannya dalam mempertahankan konsentrasi saat belajar, mengendalikan emosinya, dan memiliki hubungan yang lebih positif dalam berinteraksi dengan guru dan teman-temannya.

Peran sekolah juga dinilai penting, terutama jika hubungan antara guru dan murid, serta murid dengan sesama murid lainnya terbina dengan baik dan positif. Selain itu, faktor komitmen untuk saling terbuka, berdiskusi, dan bekerja sama antara orang tua dan guru akan semakin meningkatkan kesiapan sekolah anak.

 

"Menyekolahkan anak bukan ajang kompetisi antar orang tua, masukanlah anakmu untuk bersekolah jika memang ia sudah memiliki kematangan dan kesiapan yang memadai untuk mengikuti jenjang pendidikan sekolah dasar. "

 

Ditulis Oleh: Jane Cindy Linardi, M.Psi., Psikolog.

 

Daftar Refrensi 

Doherty, G. (2007). Conception to Age Six: The Foundation of School Readiness. Toronto, Canada: Learning Partnership .

Janus & Offord (2000). Readiness to Learn at School. Isuma, 1, 71-75.

Xie & Gan (2017). Family Environment Impact On The School Readiness of Children In China Based On The Survey of Wuchuan Autonomous Country, Guizhou. Euroasia Journal of Mathematics Science and Technology Education, 13 (10), 6609 - 6618.


Regulasi Emosi Pada Anak

 Regulasi emosi adalah suatu rangkaian proses intrinsik dan ekstrinsik pada diri seseorang yang bertujuan untuk memonitor, mengevaluasi, dan...