Saturday, July 10, 2021

Dampak Negatif Body Shaming

Penggunaan sosial media di era modern, memberikan akses yang semakin luas kepada masyarakat terhadap informasi akan gambaran tubuh yang dianggap ideal, baik dari bentuk, warna kulit, tinggi badan, dan sebagainya. Hal ini tentu akan membentuk persepsi tersendiri di masyarakat tentang bagaimana seharusnya tubuh yang ideal dimiliki oleh setiap orang. 

Mudahnya akses terhadap akun sosial media, juga membuat individu semakin mudah untuk memberikan penilaian atau komentar terhadap apa yang ditampilkan orang lain dalam sosial medianya. Beberapa dari mereka bahkan berlindung di balik akun-akun palsu, agar dapat dengan leluasa memberikan komentar negatif atau ejekan terhadap orang lain, termasuk dalam aspek fisik.

Tindakan mengejek dan berkomentar negatif terhadap tampilan fisik seseorang, dikenal dengan istilah body shaming (Fauzia & Rahmiaji, 2019). Pelaku body shaming biasanya mengejek orang-orang dengan penampilan fisik yang dianggap berbeda dengan patokan masyarakat pada umumnya. Obyek body shaming adalah: bentuk, ukuran, tinggi, warna kulit, kondisi kulit (termasuk kulit wajah), jenis rambut, kelainan fisik karena genetik atau insiden, serta semua hal yang dianggap "berbeda" dari standar. 

Perilaku body shaming ini merupakan salah satu jenis perundungan (bullying), yaitu perundungan dalam bentuk verbal. 

Beberapa bentuk penyampaian body shaming, yaitu:

  1. Verbal lisan: berupa gurauan, ejekan, name calling (misalnya: si gendut, bola, gajah, dll), serta komentar negatif yang dilontarkan secara langsung.
  2. Verbal tertulis: dibuat secara tertulis melalui kolom komentar pada sosial media (misal: instagram, facebook, twitter, dll), pesan singkat (seperti whatsapp, line, atau direct message di instagram), dan posting-an sosial media.

Siapa pun dapat menjadi pelaku body shaming, termasuk orang-orang terdekat kita, seperti anggota keluarga, orang tua, teman, pacar, suami, istri, dan guru. Bahkan orang yang tidak kita kenal sekali pun juga dapat menjadi pelaku (umumnya lebih banyak terjadi di sosial media).

Apa yang terjadi pada orang-orang yang kerap mendapatkan body shaming? Mereka umumnya merasakan stress, depresi, kecemasan, merasa inferior, bahkan menghindari kontak sosial dengan orang lain (Sugiati, 2019). Selain itu, body shaming juga dapat menyebabkan gambaran diri (self image) seseorang menjadi negatif (misalnya: merasa bahwa dirinya jelek, tidak terlihat menarik, dsb), merasa insecure, tidak percaya diri, mengalami gangguan makan seperti anoreksia atau bulimia, termasuk melakukan olahraga secara ekstrim.

Individu yang berada pada tahap perkembangan usia remaja, adalah individu yang paling rentan mengalami dampak negatif dari body shaming. Sebab, remaja berada pada tahap perkembangan psikologis yang potensial, namun rentan karena adanya fase krisis identitas (Hurlock, 1996). 

Pada fase remaja, mereka secara natural memang mengalami perubahan secara fisik terkait pubertas. Perubahan dalam bentuk ukuran dan bentuk tubuh, misalnya ukuran payudara, ukuran panggul, ukuran dada, dan lain sebagainya. Perubahan ini tidak sepenuhnya dapat diterima oleh sebagian remaja. Data menyebutkan bahwa, 46% remaja perempuan dan 26% remaja laki-laki merasa tidak puas dengan perubahan tubuhnya selama pubertas (Hogan & Starsburger, 2008).

Body shaming tidak hanya dapat terjadi pada perempuan, yang umumnya berkaitan dengan bentuk tubuh seperti langsing dan gemuk. Namun, body shaming juga dapat terjadi pada laki-laki, yang lebih menekankan pada bentuk tubuh maskulin, berotot, dan bentuk perut yang six pack (McFarland & Petrie, 2012). 

Lalu, bagaimana cara mengatasi body shaming?

  • Mulailah dari diri sendiri! Berhenti memberikan komentar negatif terkait kondisi tubuh seseorang, meskipun hanya dengan tujuan "bercanda"
  • Memilah akun-akun pada sosial media yang kita ikuti (follow), selain itu kita juga dapat mematikan kolom komentar atau memblokir komentar untuk menyaring hal-hal negatif yang akan masuk ke akun sosial media kita.
  • Ekspresikan apa yang kita rasakan saat menerima body shaming, sampaikan langsung kepada pelaku. Termasuk jika pelaku adalah orang terdekat kita seperti keluarga, pasangan hidup, pacar, teman, dll.
  • Temukanlah hal-hal positif yang ada dalam diri kita. Minta feedback dari orang terdekat terkait kelebihan atau kekuatan yang kita miliki. 
  • Lakukan journaling terkait penilaian pribadi kita terhadap semua hal positif yang kita miliki.


"Tubuh dan penampilan fisik tidak harus sempurna, karena pada dasarnya kita tidak mungkin mencapai kesempuranaan. Lihatlah hal-hal positif lain yang kita miliki, seperti kelebihan, bakat, pencapaian, dan kekuatan diri."

 

Ditulis Oleh:

Jane Cindy, M.Psi, Psikolog.

 

Daftar Refrensi:

Fauzia, T. F., & Rahmiaji, R. L. (2019). Mendalami Pengalaman Body Shaming Pada Remaja Perempuan. Jurnal Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Universitas Diponegoro.

Hogan, M. J., & Starsburger, V. C. (2008). Body Image, Eating Disorder, and The Media. American Academy of Pediatrics.

Hurlock, E. B. (1996). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Erlangga: Jakarta.

McFarland, M. B., & Petrie, T. A. (2012). Male Body Satisfaction: Factorial and Construct Validity of Body Part Satisfaction Scale for Men. Journal of Counseling Psychology, 59 (2), 329.

Sugiati, T. (2019). The Influence of Body Shaming Towards FISIP Airlangga University Students Behaviour Pattern. Indonesian Journal of Social Science, Volume 11, No. 02, p. 16-24.


No comments:

Post a Comment

Regulasi Emosi Pada Anak

 Regulasi emosi adalah suatu rangkaian proses intrinsik dan ekstrinsik pada diri seseorang yang bertujuan untuk memonitor, mengevaluasi, dan...