Sunday, March 26, 2023

Regulasi Emosi Pada Anak

 Regulasi emosi adalah suatu rangkaian proses intrinsik dan ekstrinsik pada diri seseorang yang bertujuan untuk memonitor, mengevaluasi, dan memodifikasi reaksi emosi yang terjadi (Sabatier, el al., 2017).

Secara umum, terdapat dua faktor yang mempengaruhi perkembangan regulasi emosi yaitu:

a. Pengaruh neurobiologis: regulasi emosi berperan untuk menstabilkan kondisi tubuh, setelah terjadi peningkatan kerja internal tubuh yang disebabkan karena emosi, misalnya: jantung berdebar, suhu tubuh yang meningkat, dsb. Regulasi emosi dapat tercapai ketika terjadi sinkronisasi antara sistem, termasuk: proses atensi yang memungkinkan kita untuk fokus pada stimulus yang penting, proses kognitif untuk menilai situasi, proses motorik untuk menyiapkan tubuh berespon secara tepat.

b. Pengaruh lingkungan: dalam beberapa studi, disebutkan bahwa lingkungan, khususnya keluarga memegang peranan yang sangat penting dalam perkembangan regulasi emosi seseorang. Keluarga yang hangat, meningkatkan kemungkinan terjadinya ekspresi afeksi yang luwes dan positif antar anggota keluarga. Selain itu, keluarga yang hangat juga dapat menampilkan contoh yang positif tentang bagaimana menerapkan regulasi emosi yang tepat.

Ildiz & Ayhan (2021) menjabarkan mengenai perkembangan regulasi emosi pada anak berdasarkan tahapan usia. Penulis hanya akan membahas dua tahapan pada usia anak, yaitu:

1. infancy (usia 0 - 2 tahun): pada tahapan usia ini, orang tua atau pengasuh utama anak berperan sangat penting dalam membantu anak menenangkan diri, memenuhi kebutuhan afeksi anak. Orang tua dapat menenangkan anak yang sedang merasakan emosi marah dengan cara memeluk, memberikan kecupan, berbicara dengan lembut.

2. preschool (usia 2 - 6 tahun): pada tahap ini, anak mulai dapat mengekspresikan emosinya melalui kata-kata dibandingkan mengekspresikannya dalam bentuk perilaku. Guru mulai memiliki peran penting dalam membantu memberikan model positif kepada anak tentang bagaimana mengekspresikan emosinya dengan tepat dan dapat diterima oleh lingkungan sosial. Pada fase ini, penting agar anak mengetahui nama dari macam-macam emosi dan situasi yang dapat menyebabkan emosi tersebut muncul. Misalnya: anak merasa senang saat bermain dengan teman, anak merasa marah saat mainannya direbut oleh teman.

Regulasi emosi penting diajarkan kepada anak sejak dini, agar anak mengetahui emosi yang ia rasakan, memahami perubahan yang muncul pada tubuhnya saat emosi muncul, mengenali situasi apa yang dapat memunculkan emosi, dan bagaimana cara dia menenangkan dirinya. Banyak orang tua beranggapan bahwa dengan membantu anak meregulasi emosinya, maka emosi yang dirasakan oleh anak dapat cepat mereda. Padahal, regulasi emosi sendri bertujuan bukan untuk mempercepat redanya emosi anak.

Mengajarkan anak bagaimana meregulasi emosi adalah sebuah proses panjang yang dimulai sejak anak usia dini, penting juga bagi orang tua untuk meregulasi emosinya terlebih dahulu. Pastikan orang tua dalam kondisi yang tenang untuk menghadapi anak yang tengah merasakan emosi yang besar. 

Beberapa langkah regulasi emosi pada anak yang dapat diterapkan oleh orang tua:

1. Menamai emosi yang sedang anak rasakan: "Kakak sedang marah."

2. Memberitahu penyebab emosi tersebut muncul: "Kakak sedang marah, karena kesulitan membuka botol."

3. Menunjukkan empati: "Kakak sedang marah, karena kesulitan membuka botol. Mama tahu rasanya pasti kesal sekali ya."

4. Ajak anak untuk menenangkan diri: "Kakak sedang marah, karena kesulitan membuka botol. Mama tahu rasanya pasti kesal sekali ya. Kita tenangkan diri dulu yuk!" Pada proses ini, pastikan orang tua tetap mendampingi anak, kemudian ajak anak untuk menarik nafas panjang, menahan beberapa detik, kemudian buang nafas perlahan dari mulut. 

5. Setelah anak tenang, ajak anak untuk berdiskusi tentang apa yang ia dapat lakukan jika menemui situasi yang sama di kemudian hari. 

Langkah-langkah regulasi emosi tersebut dapat dilakukan pada berbagai macam emosi yang ditampilkan anak, seperti sedih, kecewa, cemas, dan lain sebagainya.

Ditulis Oleh: Jane Cindy Linardi, M.Psi., Psikolog.

Sumber Referensi:

Ildiz, I., Ayhan, A. (2021). Emotion Regulation in Children. Recent studies in health science (p. 170 - 185). St. Kliment Ohridski University Press.

Sabatier, C., Cervantes, D., Torres, M., Rios, O., Sanudo, J. (2017). Emotion Regulation in Children and Adolescents: Concept, Processes, and Influences. Psicologia Desde El Caribe, Vol. 34, No 1, pp. 75-90. Universidad del Norte, Colombia.


Wednesday, March 15, 2023

Beda Anak Aktif Dengan Anak yang Memiliki Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas

Secara umum, banyak orang tua yang masih kesulitan membedakan apakah anaknya itu aktif, atau memiliki gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD). Sebab, anak dengan ADHD juga menunjukkan keaktifan yang luar biasa dalam kesehariannya, sehingga banyak orang tua yang mengira bahwa anaknya memang anak yang aktif. 

Sebelum masuk ke pembahasan mengenai perbedaan antara kedua hal tersebut, penulis ingin membahas terlebih dahulu definisi dari anak yang aktif. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, aktif adalah suatu kondisi dinamis atau bertenaga. Anak yang aktif berarti anak yang menyukai kegiatan-kegiatan yang dinamis dan mengeluarkan tenaga dalam kesehariannya. Misal: anak yang aktif, senang melakukan aktivitas seperti bersepeda, bermain bola, bermain basket, atau menekuni bidang olahraga lainnya. 

Sedangkan, gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas, atau yang lebih umum dikenal sebagai ADHD, adalah suatu kondisi gangguan neurodevelopmental, yang menyebabkan seorang anak mengalami kesulitan untuk mempertahankan fokus atensi, menunjukkan hiperaktivitas, dan menampilkan perilaku yang impulsif (Hoseini, Ajilian, Khademi, Moghaddam, & Saeidi, 2014).

Berdasarkan kedua definisi tersebut, kita dapat melihat perbedaan mendasarnya. Anak yang aktif, menyukai kegiatan yang dinamis dan banyak mengeluarkan tenaga dalam aktivitas kesehariannya. Sedangkan, anak dengan ADHD meskipun terkesan sama-sama aktif, namun mengalami hambatan dalam hal fokus atensi dan cenderung menampilkan perilaku impulsif.

Berikut adalah beberapa simtom yang dialami oleh anak dengan gangguan ADHD, berdasarkan DSM-V (2013):

- Simtom inattentive: sulit mempertahankan fokus atensi, terkesan mengabaikan dan tidak merespon ketika diajak bicara secara langsung, sulit mengikuti instruksi dan umumnya sulit menuntaskan suatu tugas, sulit mengorganisir tugas dan aktivitas, menghindari dan cenderung tidak menyukai tugas-tugas yang membutuhkan usaha mental, kerap kehilangan barang-barang yang dibawa, sangat mudah terdistrak, dan cenderung pelupa dalam aktivitas sehari-hari.

- Simtom hiperaktivitas: gelisah saat duduk cenderung menggerak-gerakan tangan dan kaki, sulit duduk tenang di situasi yang mengharuskannya untuk duduk, kerap berlari atau memanjat di situasi yang tidak sesuai, sulit untuk bermain atau belajar dengan tenang, banyak bicara, terkesan tidak pernah lelah karena terus aktif bergerak.

- Simtom impulsivitas: memberikan respon jawaban segera sebelum lawan bicaranya selesai bertanya atau berbicara, sulit menunggu giliran seperti mengantri dan berbaris, kerap memotong pembicaraan orang lain.

Penting diperhatikan bahwa, orang tua sangat tidak disarankan untuk melakukan self diagnosed terhadap anaknya hanya karena merasa ada beberapa kesamaan yang ditampilkan oleh anaknya dengan penjabaran simtom ADHD di atas. Orang tua disarankan untuk memeriksakan anaknya kepada psikolog klinis anak untuk mendapatkan pemeriksaan yang profesional. 

Secara garis besar, anak yang aktif mampu menempatkan dirinya, artinya ketika ia sedang belajar di kelas, maka ia dapat mengikutinya dengan tenang, fokus, dan dapat mengikuti seluruh peraturan yang diberikan guru. Keaktifannya tersebut tidak mengganggu kegiatan belajar dan fungsi kesehariannya. Sedangkan, anak ADHD dengan hiperaktivitasnya mengalami kesulitan untuk mempertahankan fokus atensi, sulit untuk duduk dengan tenang selama belajar, ketahanan belajarnya pendek, dan cenderung sulit mengikuti peraturan karena perilaku impulsifnya. Intinya, anak dengan ADHD mengalami kendala dalam kegiatan belajar dan hal tersebut mengganggu fungsi kesehariannya.

Jangan ragu untuk memeriksakan anak ke psikolog klinis anak. Jika anak mengalami gangguan ADHD, semakin cepat ia ditangani, maka akan semakin baik prognosisnya. Sebab, individu yang memiliki kondisi ADHD yang tidak ditangani di masa kecilnya, meningkatkan kemungkinan yang lebih besar untuk mengalami depresi, kecemasan, serta penyalahgunaan obat dan zat terlarang di usia dewasa (Watters, Adamis, McNicholas, & Gavin, 2017).


Ditulis Oleh: Jane Cindy Linardi, M.Psi., Psikolog.

Sumber Referensi:

Hoseini, B., Ajilian, M., Moghaddam, H., Khademi, G., & Saeidi, M. (2014). Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) in Children: A Short Review and Literature. International Journal of Pediatrics, Vol. 2, N. 4-3, Serial No. 12.

Watters, C., Adamis, D., McNicholas, F., & Gavin, B. (2017). The Impact of Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) in Adulthood: A Qualitative Study. Irish Journal of Psychological Medicine, p. 1-7.

 

Monday, February 27, 2023

Aktivitas yang Dapat Meningkatkan Kesehatan Mental

Rutinitas sehari-hari sering kali menyita banyak waktu dan pikiran. Beberapa individu, bahkan mengalami kesulitan untuk membagi waktu antara bekerja, mengurus keperluan rumah tangga, mengurus diri sendiri, dan mengurus anak. Akibatnya, terjadi ketidakseimbangan aktivitas harian yang dapat mengganggu kesehatan mental. Banyak individu yang tidak menyadari bahwa kesehatan mental yang tidak baik, dapat memicu terjadinya penurunan produktivitas, timbulnya stress, dan burn out (Rock, et al., 2012).

Sejak dahulu, banyak peneliti telah menemukan bahwa keseimbangan nutrisi sangat penting bagi kesehatan fisik individu. Namun, belum banyak peneliti yang menggali tentang pentingnya keseimbangan aktivitas untuk kesehatan mental. Akhirnya, Siegel dan Rock (2012) meneliti hal tersebut, dan mereka merumuskannya sebagai konsep healthy mind platter

Dalam konsep healthy mind platter, terdapat tujuh aktivitas yang dapat dilakukan dalam rutinitas untuk meningkatkan kesehatan pikiran dan mental. Ketujuh aktivitas tsb adalah:

1. Sleep Time: Aktivitas tidur sangat penting untuk meningkatkan ketajaman memori, menyegarkan tubuh dan pikiran. Tidur juga penting untuk imunitas tubuh (Taylor, Lichstein, & Durrence, 2003). Beberapa penelitian bahkan menekankan bahwa tidur penting untuk kesehatan otak manusia.

2. Play Time: Aktivitas bermain (mencari kesenangan) ternyata sama pentingnya dengan aktivitas keseharian lainnya, seperti: makan dan tidur. Beberapa studi, menemukan bahwa bermain merupakan hal yang sangat penting bagi perkembangan anak, juga penting bagi kreativitas dan proses belajar individu dewasa. Bermain dapat meningkatkan hormon dopamin, dan memunculkan rasa senang.

3. Down Time: Waktu untuk fokus dengan apa yang terjadi di dalam momen (here and now), tanpa merencanakan suatu aktivitas. Biarkan aktivitas terjadi secara spontan, umumnya down time terjadi secara spontan di saat kita menunggu transisi dari satu aktivitas ke aktivitas lain.

4. Time In: Waktu untuk berefleksi, dapat dilakukan dengan menulis journal harian maupun bermeditasi.

5. Connecting Time: Menjalin koneksi dengan orang-orang terdekat, seperti keluarga, teman-teman, dan saudara. Dengan menjalin interaksi dengan orang terdekat, kita memenuhi kebutuhan kita akan dukungan sosial. 

6. Physical Time: Olahraga terbukti dapat meningkatkan kesehatan otak dan menjaga plastisitas otak. Dengan berolahraga, tubuh memproduksi hormon endorphin, sehingga suasana hati menjadi lebih baik dan tubuh secara otomatis menurunkan kadar stress.

7. Focus Time: Memusatkan fokus terhadap satu pekerjaan dalam satu waktu, dan dapat memicu munculnya sense of mastery (rasa berhasil menguasai atau mencapai sesuatu).

Ketujuh aktivitas tersebut disarankan untuk dilakukan secara seimbang dalam rutinitas harian, untuk meningkatkan kesehatan pikiran dan mental. 

Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Kita dapat berperan aktif untuk mengusahakan dan menjaga kesehatan mental kita.


Ditulis Oleh: Jane Cindy, M.Psi., Psikolog.

Sumber Referensi:

Rock, D., Siegel. D., Poelmans, S., & Payne, J. (2012). The Healthy Mind Platter. Neuro Leadership Journal. Issue Four.

Taylor, D. J., Lichstein, K. L., & Durrence, H. H. (2003). Insomnia As a Health Risk Factor. Behavioral Sleep Medicine, 1, 227-247.

 

 

Thursday, February 9, 2023

Pentingnya Pendidikan Seks Sejak Dini

Beberapa masyarakat Indonesia masih memiliki perspektif negatif tentang pendidikan seks, mereka beranggapan bahwa pendidikan seks berarti mengajarkan anak untuk melakukan hubungan seksual. Hal ini membuat mereka merasa enggan untuk membahas topik yang berkaitan dengan seks kepada anak-anak mereka. Padahal, pendidikan seks merupakan proses pemberian informasi terkait perkembangan tubuh, seks, seksualitas, serta kualitas hubungan, yang tentunya diberikan sesuai dengan tahapan usia anak (Bridges & Hauser, 2014).

Pendidikan seks merupakan hal yang penting karena sangat mempengaruhi keputusan anak untuk menghindari perilaku seksual yang beresiko saat ia memasuki fase usia remaja. Dalam sebuah studi, ditemukan bahwa orang tua yang memberikan pendidikan seks sejak dini, akan menghindarkan anak dari perilaku seksual yang beresiko, enam kali lipat lebih tinggi daripada orang tua yang tidak memberikan pendidikan seks kepada anaknya (Susanti, Falefi, & Purnama, 2021). Ketika remaja dapat menampilkan perilaku seksual yang tidak beresiko, mereka juga akan menurunkan kemungkinan tertular penyakit menular seksual. 

Pendidikan seks berdasarkan usia, menurut Silverberg & Smyth (2015) adalah sebagai berikut:

- Usia 0 sampai 2 tahun: Orang tua dapat mengenalkan nama-nama organ intim anak menggunakan istilah yang tepat, seperti penis, testis, vagina, vulva. Hindari menggunakan istilah-istilah yang tidak resmi, yang umumnya sering digunakan dalam percakapan sehari-hari. Pastikan, orang tua menggunakan nada suara dan ekspresi wajah yang netral, saat menyebutkan nama organ intim anak, seperti halnya saat orang tua menyebut nama anggota tubuh lain seperti kaki, pipi, hidung, dsb.

- Usia 2 tahun - 5 tahun: Orang tua perlu mengajarkan mengenai konsep batasan, khususnya yang berkaitan dengan sentuhan dari orang lain, maupun menyentuh orang lain. Untuk mempermudah, orang tua dapat menggunakan istilah good touch vs bad touch. Beberapa contoh good touch adalah bersalaman saat berkenalan, tos (high five), menepuk pundak atau punggung untuk memanggil teman. Sedangkan, bad touch adalah sentuhan, gesekan, atau genggaman ke area tubuh yang private seperti dada, bokong, paha, penis, vagina, dsb. Selain itu, penting juga untuk mengajarkan anak agar mereka berpakaian di ruang tertutup dalam setting sosial mana pun (baik di rumahnya sendiri, rumah saudara, tempat umum, dsb).  

- Usia 6 tahun - 8 tahun: Orang tua dapat mengajarkan peran gender kepada anak, yaitu peran ibu sebagai wanita, dan peran ayah sebagai pria. Pada tahapan usia ini, orang tua juga perlu mengingatkan anak mengenai pentingnya bersikap hati-hati saat menggunakan internet. Beri peraturan mengenai batasan saat berbicara dengan orang asing baik secara daring maupun luring. Ingatkan juga kepada anak untuk berhati-hati dalam mengunggah foto secara daring (khususnya jika anak sudah menggunakan sosial media, namun tentunya sosial media belum disarankan untuk digunakan oleh anak pada tahapan usia ini). 

- Usia 9 tahun - 12 tahun: Orang tua mulai mempersiapkan anak untuk memasuki tahapan pubertas. Edukasi mengenai mimpi basah dan menstruasi. Ajarkan juga kepada anak bagaimana menjaga kebersihan organ intim mereka, terlebih lagi kepada anak perempuan saat mereka sedang menstruasi. Perkenalkan juga pada pembalut, tampon, atau menstrual cup (namun di Indonesia, umumnya masih menggunakan pembalut khususnya pada anak perempuan yang belum menikah). Contohkan bagaimana cara penggunaannya. Selain itu, infokan juga kepada anak terkait perubahan fisik yang merupakan bagian dari tahap pubertas.

- Usia 13 tahun ke atas: Pada tahapan ini, orang tua berperan sebagai pendamping anak. Berikan edukasi mengenai penyakit menular seksual dan resiko hamil di usia muda, sebagai akibat dari melakukan hubungan seks bebas (free sex). Penting juga bagi orang tua untuk bersikap terbuka terhadap pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan diajukan anak terkait seksualitas. Selain itu, orang tua juga perlu mengingatkan tentang pentingnya consent atau persetujuan terkait dengan aktivitas yang dilakukan oleh anak dengan pasangannya (pacar), seperti misal aktivitas memeluk, mencium, dsb. 

“Pendidikan seks adalah suatu proses panjang, yang dilakukan sesuai dengan tahapan usia anak. Orang tua yang terbuka, akan membuat anak merasa nyaman untuk bertanya atau berdiskusi terkait topik seksualitas. Hal ini tentulah lebih baik, dibandingkan orang tua yang tertutup sehingga membuat anak enggan bertanya, dan akhirnya mencari informasi yang belum tentu benar dari orang lain atau internet.”

 

Ditulis Oleh: Jane Cindy, M.Psi., Psikolog.

Daftar Referensi:

Bridges, E., & Hauser, D. (2014). Sexuality Ecucation: Advocates for Youth. https://www.advocatesforyouth.org/resources/fact-sheets/sexuality-education-2/

Susanti, N., Falefi, R., & Purnama, T. (2021). The Relationship Between Sex Education and Sexual Behavior in Adolescents. Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan. Vol 21 No 2, p. 110-116.

Silverberg, C., & Smyth, F. (2015). Sex is a Funny Word: A Book About Bodies , Feelings, and You. Seven Stories Press.

 


Monday, December 5, 2022

Pengaruh Penggunaan Media Sosial Terhadap Kesehatan Mental Remaja

Media sosial menjadi suatu hal yang umum digunakan, seiring dengan kemajuan teknologi yang semakin pesat. Penggunaannya sudah bergeser dari tujuan utamanya yaitu bertukar pesan dan kabar untuk menjalin koneksi dengan orang terdekat. Media sosial bahkan sudah digunakan sebagai suatu media marketing, untuk mempromosikan produk maupun jasa. Oleh karenanya, orang-orang yang menggunakan sosial media untuk tujuan marketing, tentu akan menampilkan hal-hal baik tentang pencapaian, hasil pekerjaan, kesuksesannya, dan lain sebagainya. Ditambah lagi dengan influencer yang umumnya menampilkan gaya hidup yang mewah, kesuksesan, dan pencapaiannya dengan tujuan mempromosikan produk atau jasa yang ia gunakan dari berbagai macam brand. 

Dengan akses yang mudah, setiap orang dapat memiliki media sosial, termasuk para remaja. Selama fase remaja, perkembangan otak yang belum sepenuhnya matang dengan sempurna terutama aspek pengambilan keputusan dan sosioafektif, menyebabkan meningkatnya sensitivitas dalam penerimaan informasi sosial. Akibatnya, timbul dorongan yang kuat pada diri remaja untuk mendapatkan reward sosial termasuk penilaian dari remaja lain seusianya (Nesi, 2020). 

Tugas perkembangan remaja untuk menjalin interaksi yang intim dengan remaja lain seusianya, menetapkan kemandirian dari figur orang tua, serta mengeksplorasi jati diri meningkatkan pengaruh yang negatif jika remaja mengkonsumsi media sosial secara berlebihan. Media sosial menjadi salah satu platform yang menyediakan kebutuhan remaja ini. Ketersediaan akses komunikasi dengan remaja lain seusianya dalam waktu yang tidak terbatas, informasi personal yang dengan sengaja dibagikan, dan penerimaan remaja lain dalam bentuk likes dan views (Moreno & Kota, 2014).

Terdapat bukti yang jelas adanya keterkaitan antara penggunaan media sosial dalam waktu yang tidak terbatas dengan kondisi kesehatan mental seseorang. Remaja yang menghabiskan waktu yang berlebihan untuk mengakses sosial media, meningkatkan resiko terpapar dengan perasaan-perasaan yang negatif terkait diri mereka sendiri (McNamee, Mendolia & Yerokhin, 2019). Beberapa perasaan negatif yang mungkin dirasakan adalah: (a) merasa dirinya tidak memiliki kualitas positif yang dapat dibanggakan; (b) merasa tidak berguna; (c) merasa tidak disukai; (d) merasa gagal. 

Tenaga kesehatan mental seperti psikiater dan psikolog memiliki peran penting untuk membantu memberikan edukasi kepada para remaja, termasuk orang tuanya akan dampak negatif yang mungkin dialami bila remaja menggunakan media sosial secara berlebihan. Para remaja juga sebaiknya didorong untuk terbuka kepada orang tua terkait aktivitasnya di media sosial (Reid & Weigle, 2014). 

Selain itu, menurut penulis penting bagi remaja untuk memiliki keseimbangan aktivitas dalam kesehariannya. Penggunaan media sosial yang sehat perlu diimbangi dengan aktivitas lain seperti interaksi sosial langsung dengan teman-teman seumur, mengikuti les, ekstra kurikuler, atau klub tertentu yang melangsungkan kegiatan produktif seperti klub robotik. Hubungan yang sehat dan positif antara orang tua dan remaja juga dapat membantu remaja untuk menemukan keseimbangan antara penggunaan media sosial dengan menjalin interaksi sosial secara langsung dalam kesehariannya.


Segala sesuatu yang berlebihan tidaklah baik, termasuk penggunaan media sosial. Perlu diingat bahwa orang hanya menampilkan apa yang ingin mereka tampilkan di media sosialnya. Para remaja perlu menyadari hal ini, agar tidak terpengaruh dengan anggapan bahwa orang-orang di media sosial selalu sukses dan bahagia hidupnya.

 

Ditulis Oleh: Jane Cindy, M.Psi., Psikolog.

Daftar Referensi:

McNamee, P., Mendolia, S., & Yerokhin, O. (2019). Social Media Extensive Use and Emotional and Behavioral Outcomes in Adolescence: Evidence From British Longitudinal Data. IZA Institute of Labor Economics.

Moreno, M. A. & Kota, R. (2014). Social Media In: Strasburger VC, Wilson BJ, Jordan AB, eds. Children, Adolescents, and The Media. 3rd Ed. Thousand Oaks, CA: Sage Publications.

Nesi, J. (2020). The Impact of Social Media On Youth Mental Health: Challenges and Opportunities. North Carolina Medical Journal. 81 (2): 116 - 121.

Reid, W. & Weigle, P. (2014). Social Media Use Among Adolescent: Benefit and Risks. Adolescent Psychiatry, 2014, 4, 73-80. 

 


 

 

 

Wednesday, November 23, 2022

Pentingnya Kesejahteraan Psikologis Pada Individu yang Baru Menjalani Peran Sebagai Ibu

Menjadi ibu baru, tentu bukanlah hal yang mudah untuk dijalani. Banyaknya perubahan yang dirasakan, baik itu perubahan fisik, perubahan pola hidup, perubahan tanggung jawab, dan perubahan peran. Sehingga, aspek kesejahteraan psikologi dari seorang ibu baru tentu menjadi hal yang penting. Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologi sebagai kondisi yang membuat individu memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain, memiliki tujuan hidup, dan membuat hidupnya lebih bermakna dengan mengembangkan dirinya.

Kesejahteraan psikologi bukan terbatas pada hidup yang bebas dari kondisi mental yang negatif seperti kecemasan, stress, dan lain sebagainya. Lebih dari pada itu, kesejahteraan psikologi meliputi enam aspek (Hidalgo, 2010) yaitu: 

      1. Penerimaan Diri: Pendapat positif seseorang akan dirinya sendiri berdasarkan penilaian pribadinya. Kondisi penerimaan diri ini pengertiannya spesifik dalam konteks kesejahteraan psikologi.

    2. Hubungan Positif Dengan Orang Lain: Individu dengan kesejahteraan psikologi, memiliki kemampuan untuk membina relasi interpersonal yang positif atas dasar rasa saling percaya dengan orang lain.

    3. Otonomi: Kemampuan seseorang untuk menjalani keyakinan pribadinya, meskipun hal tersebut bertentangan dengan hal yang konvensional.

     4. Penguasaan Lingkungan: ini berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk menguasai lingkungan sekitarnya.

    5. Tujuan Dalam Hidup: Kemampuan individu untuk menemukan makna dan menemukan tujuan hidupnya.

   6. Pertumbuhan Personal: Kemampuan individu untuk menyadari potensi dirinya dan untuk mengembangkan potensi dirinya yang baru.

Dari keenam aspek kesejahteraan psikologi, penulis ingin berfokus tentang bagaimana cara memenuhi keenam aspek tersebut. Tentunya bukan hanya ibu sendiri yang berjuang untuk memenuhi semuanya, namun pentingnya peran suami dan keluarga lain untuk membantu. Aspek yang paling sulit untuk dijalani adalah penerimaan diri. Banyak ibu baru yang merasa sulit untuk menerima perubahan fisik yang dialami pasca melahirkan. Disinilah peran dan dukungan suami serta keluarga lain penting untuk dihadirkan. Hindari kalimat-kalimat negatif tentang perubahan fisik ibu, selain itu penting juga untuk tidak segera menuntut kondisi fisik ibu untuk kembali seperti sebelum memiliki anak. Suami juga dapat berperan aktif dengan membantu menyiapkan makanan sehat untuk ibu konsumsi, serta memberikan apresiasi tentang betapa hebatnya ibu sudah berhasil melewati fase kehamilan dan melahirkan. Bantu ibu untuk melihat hal-hal positif dalam dirinya.

Agar ibu mampu menjalani hubungan yang positif dengan orang lain, maka bantu ibu untuk memiliki rasa percaya. Disilinah peran suami sebagai ayah penting untuk dilakukan. Bantu ibu untuk merawat bayi, seperti menggantikan popok, ikut membantu memberi susu pada bayi, memandikan bayi, atau membantu ibu untuk memberikan pijatan lembut ketika ibu menyusui atau memompa ASI. Orang tua ibu atau mertua ibu juga dapat berperan disini, membantu mengasuh bayi sehingga ibu dapat mengambil waktu untuk tidur dan istirahat yang cukup. Dengan adanya rasa kepercayaan ibu pada orang-orang penting di sekitarnya, maka hubungan positif akan tercipta.

Aspek otonomi pada individu yang baru menjalani peran sebagai ibu baru juga penting untuk dipenuhi. Pada aspek ini, orang tua atau mertua ibu penting untuk memberikan kepercayaan pada ibu untuk menjalani otonominya. Biarkan ibu yang memilih pola pengasuhan apa yang mau ia terapkan kepada anaknya, cara menyusui apa yang mau ia terapkan, menyusui langsungkah atau melalui botol dengan cara memompa ASI terlebih dahulu. Bagaimana ibu mau mengatur pola tidur bayi, apakah tidur dalam kamar yang sama, atau kamar yang terpisah. Ingat bahwa otonomi sepenuhnya ada di tangan ibu, orang tua ibu atau mertua hanya berperan untuk mendukung ibu saja.

Penguasaan lingkungan untuk ibu baru, lebih dimaksudkan agar ibu merasa ia memiliki kendali atas sekitarnya, seperti kendali akan lingkungan rumah, termasuk kepada bayinya. Ibu dalam keluarga ada dalam posisi utama yang mengatur kebutuhan rumah, anak, dan suaminya (Temiz, 2020).

Aspek tujuan hidup seorang ibu baru tentu berkaitan dengan membesarkan dan merawat anaknya agar memiliki pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Ibu dapat membekali dirinya dengan mempelajari ilmu-ilmu parenting yang dapat ia terapkan agar dapat menjalani tujuan hidupnya dengan optimal. Memiliki keterbukaan terhadap ilmu baru dapat membantu ibu dalam memenuhi tujuan ini.

Aspek terakhir yang tidak kalah penting adalah pertumbuhan personal. Penting bagi ibu juga untuk merawat dan mengembangkan dirinya sendiri. Temukan potensi diri ibu yang dapat dikembangkan. Ibu berhak untuk tetap menjalani mimpi dan cita-citanya, meskipun sekarang telah memiliki anak. Ibu dapat kembali berkarir atau memanfaatkan potensi diri ibu untuk mencapai aktualisasi diri.

 

 “Tidak mudah menjalani peran sebagai seorang ibu, hargailah dirimu, kamu sudah sangat hebat mampu bertahan sampai sejauh ini!”

 

Ditulis Oleh: Jane Cindy Linardi, M.Psi., Psikolog.

Daftar Referensi 

Hidalgo. J. L. T., Bravo, B, N., Martinez, I. P., Pretel, F. A (2010). Handbook: Psychology of Emotions, Motivations, and Action. In Inggrid E. Wells (Ed.), Psychological Well-Being (pp. 77-113). Nova Science Publisher, Inc. New York.

Ryff, C. D. (1989). Happiness is everything, or is it? explorations on the meaning of psychological well-being. Personality and Social Psychology, 57(6), 10691081. https://doi.org/10.1037/0022-3514.57.6.1069.

        Temiz, G. (2020). The Relationship Between Mother’s Psychological Wellbeing and Their Attitudes Towards Their Children. Psychology Research, January 2020, Vol 10, No. 1.

 

Monday, November 21, 2022

Siapkah Anak Saya Bersekolah?

Sebagian dari orang tua beranggapan bahwa anak yang telah menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak, otomatis akan langsung melanjutkan ke jenjang sekolah dasar. Jika hal ini dilakukan tanpa melihat kematangan dan kesiapan anak, maka dapat meningkatkan resiko anak mengalami kendala dalam kegiatan pembelajaran. Kesiapan sekolah di sini adalah kesiapan anak untuk memasuki sekolah formal, pada tingkat sekolah dasar. 

Secara spesifik, kesiapan sekolah meliputi beberapa aspek, seperti kesehatan fisik anak, kemampuan sosial, kematangan emosi, perkembangan bahasa dan kognitif, serta kemampuan komunikasi (Doherty, 2007).

 Lebih lanjut, Janus & Offord (200) menjabarkan bahwa hal yang mencakup dalam aspek kesehatan fisik anak adalah kemandirian fisik anak untuk melakukan aktifitas, termasuk keterampilan motorik kasar (berjalan, berlari, melompat) dan motorik halusnya (menulis, menggambar, mewarnai, menggunting). Kemampuan sosial juga tidak kalah penting dari kesiapan fisik. Anak diharapkan mampu menjalin interaksi dengan teman-teman sebaya dan dengan guru-guru di sekolahnya, serta memiliki kesiapan untuk mengeksplorasi lingkungan sekolahnya. 

Kematangan emosi anak memampukan anak untuk menunjukkan perilaku prososial dan menampilkan perilaku yang kooperatif terhadap peraturan sekolah. Sedangkan, perkembangan bahasa dan kognitif meliputi kemampuan literasi, daya ingat, dan kemampuan hitung dasar. 

Penulis menambahkan bahwa kemampuan kognitif yang perlu dimiliki anak untuk memasuki tingkat sekolah dasar adalah: (a) Mengenal warna, angka, bentuk, huruf; (b) Memahami instruksi, termasuk pertanyaan dan pernyataan verbal; (c) Mampu memberikan respon yang sesuai dengan instruksi guru; dan (d) Memahami konsep hitung dasar.

Aspek terakhir yang juga tidak kalah penting adalah kemampuan komunikasi anak, bagaimana anak mampu menyampaikan pikiran, perasaan, pendapat, dan ide-idenya.

Di sisi lain, Xie & Gan (2017) menambahkan bahwa kesiapan sekolah anak dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu keluarga (gaya pengasuhan orang tua), anak (kemampuan regulasi diri), dan sekolah. Bronfenbrenner dalam teorinya juga menyatakan bahwa faktor personal dari anak itu sendiri, serta lingkungan sosial terdekat anak merupakan faktor yang menunjang kesiapan sekolah anak.

Peran orang tua dalam hal mengasuh anak dinilai menjadi faktor yang mempengaruhi kesiapan anak. Orang tua yang menerapkan gaya pengasuhan yang hangat dan suportif, membuat anak menjadi mandiri dan siap untuk sekolah. Anak menjadi lebih siap untuk menghadapi situasi yang asing terutama pada periode awal sekolah dimulai. 

Selain faktor gaya pengasuhan orang tua, anak yang telah memiiliki kemampuan regulasi diri yang baik, akan mendukung kemampuannya dalam mempertahankan konsentrasi saat belajar, mengendalikan emosinya, dan memiliki hubungan yang lebih positif dalam berinteraksi dengan guru dan teman-temannya.

Peran sekolah juga dinilai penting, terutama jika hubungan antara guru dan murid, serta murid dengan sesama murid lainnya terbina dengan baik dan positif. Selain itu, faktor komitmen untuk saling terbuka, berdiskusi, dan bekerja sama antara orang tua dan guru akan semakin meningkatkan kesiapan sekolah anak.

 

"Menyekolahkan anak bukan ajang kompetisi antar orang tua, masukanlah anakmu untuk bersekolah jika memang ia sudah memiliki kematangan dan kesiapan yang memadai untuk mengikuti jenjang pendidikan sekolah dasar. "

 

Ditulis Oleh: Jane Cindy Linardi, M.Psi., Psikolog.

 

Daftar Refrensi 

Doherty, G. (2007). Conception to Age Six: The Foundation of School Readiness. Toronto, Canada: Learning Partnership .

Janus & Offord (2000). Readiness to Learn at School. Isuma, 1, 71-75.

Xie & Gan (2017). Family Environment Impact On The School Readiness of Children In China Based On The Survey of Wuchuan Autonomous Country, Guizhou. Euroasia Journal of Mathematics Science and Technology Education, 13 (10), 6609 - 6618.


Regulasi Emosi Pada Anak

 Regulasi emosi adalah suatu rangkaian proses intrinsik dan ekstrinsik pada diri seseorang yang bertujuan untuk memonitor, mengevaluasi, dan...